April 19, 2024

PROGRAM MAGISTER ILMU AL-QUR'AN DAN TAFSIR

Fakultas Ushuluddin dan Humaniora UIN Walisongo Semarang

Islam Tradisionalis dan Modernis: Telaah Historis atas Tipologi Masyarakat Islam Indonesia

Mohammad Nor Ichwan. Sampai sekarang ini, setidaknya ada dua lembaga organisasi sosial-keagamaan terbesar yang berkembang di Indonesia. Yakni Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Untuk organisasi yang disebut pertama sering diidentikkan dan diasumsikan sebagai suatu lembaga yang lahir dan berkembang serta anggota-anggotanya berbasis di daerah pedesaan. Sehingga, kelompok ini sering disebut sebagai kelompok tradisionalis. Akibatnya, pola pemikiran keagamaannya pun ditipologikan sebagai “Islam tradisionalis”. Sedangkan untuk organisasai yang disebutkan terakhir, yaitu Muhammadiyah, secara geneologi lebih didasarkan pada masyarakat yang berbasis perkotaan. Bahkan pola pemikiran keagamaannya pun di cap sebagai kelompom “Islam Modernis”.

Nampaknya, kedua tipologi seperti “Islam Tradisionalis” yang diarahkan kepada masyarakat pedesaan yang dalam hal ini diwakili oleh masyarakat NU dan kelompok “Islam Modernis” yang ditujukan kepada masyarakat perkotaan yang diwakili oleh masyarakat Muhammadiyah, sampai sekarang ini masih terus melekat dan menghegemoni. Akibatnya, kelompok NU selalu dianggap sebagai kelompok yang terbelakang dan rigid, sementara kelompok Muhammadiyah selalu diaggap sebagai kelompok yang dapat mengantisipasi perkembangan zaman.

Keadaan NU yang demikian ini menjadikan lembaga ini kurang mendapat perhatian lebih dari kalangan peneliti yang berusaha mengkaji secara serius tentang lembaga, konsep pemikiran keagamaan, aktifitas ekonomi bahkan sampai ideologi politiknya. Atau dengan kata lain, penelitian tentang NU masih krang proporsional dibandingkan dengan organisasi sosial keagamaan lainnya, seperti Muhammadiyah. Justru penelitian secara serius dan intensif sering diarahkan pada kelompok yang terakhir ini.

Keadaan NU yang demikian ini sebagaimana digambarkan oleh Azyumardi Azra, yang menulis sebagai berikut:

Akibat bias intelektual itu adalah terdapatnya kecenderungan kuat di kalangan para ahli atau pengamat tentang Islam – baik pada tingkat Indonesia, maupun pada tingkat internasional – untuk lebih mem­berikan perhatian kepada organisasi-organisasi “modernis” atau re­formis. Terdapat banyak sekali kajian yang dihasilkan para ahli dan pengamat tentang organisasi atau kaum modernis atau reformis semacam Muhammadiyah. Bahkan organisasi dan kaum modernis dan reformis ini cenderung mendapat pemberitaan lebih luas dan ekstensif dalam media massa. Karena itu, tidak aneh kalau terdapat complaints dari kalangan “tradisionalis” bahwa media massa di negara-­negara Muslim, termasuk Indonesia, semacam memiliki “bias” moder­nis, dengan mengorbankan kaum “tradisionalis”.[1]

Organisasi NU atau yang biasa disebut sebagai kelompok Muslim tradisional yang nota bena besar ini cenderung dia­baikan dan sebaliknya, perhatian lebih banyak diberikan kepada organisasi atau kaum Muslim modernis dan reformis. Selain itu, organisasi atau kaum tradisionalis pada umumnya dianggap tidak menarik karena mereka dipandang adalah orang-orang jumud yang ketinggalan zaman, yang berpikiran sempit dan picik; mereka adalah remnants (sisa-sisa) dari masa lampau yang tidak relevan lagi dengan situasi masa sekarang. Sebaliknva, organisa­si atau kaum modernis atau reformis menarik karena mereka dipan­dang sebagai orang-orang yang maju dan progresif; berpikiran luas dan mampu menjawab tantangan masa moderen.

Anggapan-anggapan seperti ini, perlu diuji kembali secara serius, khususnya dalam skala perbandingan antara NU dan Muhammadiyah di Indonesia. Belakangan ini ada satu buku yang berusaha menguji kembali tipologi “Islam Tradisionalis dan Islam Modernis” ini yang ditulis oleh penulis muda yang kritis, seperti Nur Khalik Ridwan dengan judul “Islam Borjuis dan Islam Proletar: Konstruksi Baru Masyarakat Islam Indonesia”.[2] Dari judul buku yang ditulisnya dapat dipahami bahwa ia berusaha membuat tipologi baru. Yakni “Islam Borjuis dan Proletar”. Menurut Khalik “Islam Borjuis” ini diwakili oleh kelompok mapan dan berpunya yang secara stereotip diarahkan kepada kelompok Muhammadiyah, sedangkan “Islam Proletar” diwakili oleh organisisai NU yang berbasis di pedesaan yang pengikutnya adalah kelompok-kelompok bawah yang tertindas.

Geneologi Islam Tradisionalis danModernis

Dr. H. Abudin Nata, MA dalam “Peta Keragaman Pemkiran Islam di Indonesia” telah menginventaris sedikitnya ada 12 tipologi pemikiran Islam di Indonesia. Yakni, Islam Fundamentalis, Teologis-Normatif, Eksklusif, Rasional, Transformatif, Aktual, Kontekstual, Esoteris, Tradisionalis, Modernis, Kultural, dan Inklusif-pluralis.[3]

Tipologi pemikiran keislaman sebagaimana dipetakan oleh Abudin Nata tersebut telah memberikan gambaran begitu beragamnya corak pemikiran masyarakat Islam Indonesia. Belum lagi tipologi-tipologi lain yang digandengkan dengan term “Islam”  seperti Islam Liberal, Islam Historis, Islam Kanan, Islam Kiri, dan sebagainya. Bisa jadi, bila tipologi yang beraneka ragam tersebut diidentifikasi berdasarkan pola pemikiran keagamaan secara garis besar dapat dikerucutkan menjadi dua, yaitu (1)pola pemikiran keislaman yang berlandaskan pada ketentuan norma-norma keagamaan yang baku dan kaku, yang biasa disebut sebagai “Islam normatif” dan (2) pemikiran yang disamping berlandaskan pada teks-teks keagamaan juga melihat lebih jauh konteks kesejarahan ketika teks diwahyukan serta menarik pada konteks sekarang. Dan inilah yang biasa disebut sebagai “ Islam Historis”.

Sehubungan dengan dua tipologi sebagaimana tertuang dalam judul di atas, bila dilihat dari konteks “Islam Normatif dan Historis” ini, maka tipologi yang nota bena dibuat oleh sarjana Indonesia, Deliar Noer dalam karyanya “Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942” untuk masa sekarang kurang tepat dan membingungkan. Penulis katakan kurang tepat karena pola pemikiran kedua kelompok tersebut sekarang sudah mengalami perubahan. Artinya, kelompok yang sering di cap sebagai tradisionalis sekarang ini justru lebih akomodatif dan responsif ketimbang kelompok yang disebut sebagai modernis atau reformais. Untuk mendapatkan gambaran tentang perubahan pola pikir dari kedua kelompok serta konstituen yang digunakannya untyk melihat lebih jauh tipologi di atas, akan dibicarakan kemudian.

Dalam sub-judul ini terlebih dahulu akan dibicarakan secara geneologis atau melihat sejarahnya sejarah kenapa tipologi “Islam Tradisionalis dan Modernis” ini muncul. Menurut Azyumardi Azra bahwa Sarjana Indonesia yang paling bertanggung-jawab dalam menye­barluaskan distingsi – yang selanjutnya menjadi dikhotomi – antara “Islam tradisi” atau “tradisionalis” dengan “Islam modernis” dalam kajian tentang Islam di Indonesia adalah Deliar Noer dalam karyanya ““Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942”. Dalam karya ini – tambah Azra – Deliar secara tegas membuat semacam watertight distinction antara Islam modernis yang diwakili oleh Muhammadiyah, Persis, dan lain-lain, dengan Islam tradisi yang diwakili NU dan organisasi semacamnya.[4] Bahkan menurut Azra bahwa tipologi sebagaimana diperkenalkan oleh Deliar Noer tersebut bukan merupakan sesuatu yang baru. Sebab tipologi sebagaimana disebutkan merupakan pinjaman dari sarjana-sarjana sebelumnya. Mengenai hal ini Azra menulis sebagai berikut:

Distingsi atau tipologi yang diperkenalkan oleh Deliar Noer sebe­narnya tidaklah baru. Sebaliknya dapat dikatakan, distingsi atau tipo­logi merupakan pinjaman dari sarjana-sarjana yang lebih dulu melaku­kan kajian-kajian terhadap perkembangan pemikiran dan gerakan Islam pada masa moderen, khususnya di Timur Tengah atau di Anak Benua India. Yang paling terkenal di antara mereka adalah Adams dengan studinya tentang modernisme Islam di Mesir, atau Smith dan Ahmad dengan kajiannya tentang gerakan-gerakan Islam modernis di Anak Benua India.[5]

Setelah sekian puluh tahun sejak kemunculan kajian-kajian terse­but, harus diakui belum terdapat studi-studi yang secara kritis dan komprehensif menguji kembali distingsi dan tipologi modernis-tra­disionalis. Sebab bukan tidak mungkin bahwa tipologi modernis-tra­disionalis tersebut tidak lagi terlalu tepat. Kalaupun tipologi itu di­gunakan, agaknya perlu dilakukan kualifikasi-kualifikasi tertentu; niisalnya saja, apakah “modernis-tradisionalis” itu mengacu kepada ideo­logi (paham) keagamaan, atau pada tingkatan praksis. Apalagi dengan terjadinya perubahan-perubahan sosiologis dalam pemikiran dan ger­akan Islam pada beberapa dasawarsa terakhir ini, maka tipologi lama ini kelihatan semakin tidak mampu menggambarkan dengan lebih akurat peta bumi perkembangan gerakan dan pemikiran Islam.

Karena itulah upaya telah dilakukan untuk merevisi tipologi terse­but. Fazlur Rahman, misalnya, memperkenalkan distingsi dan tipologi semacam modernis (yang mencakup modernis klasik dan neo-mod­ernis) dan revivalis (yang mencakup revivalis klasik dan neo-reviva­lis).5 Kerangka yang ditawarkan Rahman agaknya bisa bermanfaat untuk melihat kembali posisi NU dan Muhammadiyah. Dengan menggunakan kerangka Rahman, NU agaknya termasuk ke dalam tipologi “neo-modernis”; sementara Muhammadiyah kelihatannya termasuk ke dalam tipologi “revivalis”; ini setidaknya jika dilihat dari sodut wacana keagamaan kedua organisasi tersebut.

Bagaimana kita dapat menjelaskan Fazlur Rahman dalam konteks NU dan Muhammadiyah? Penjelasannya cukup sederhana. NU sebagai­mana terlihat dalam buku ini ternyata cukup adaptif dalam meresponi tantangan intelektual dan institusional moderen yang semakin banyak muncul dalam masa belakangan ini. Hal ini misalnya terlihat jelas misal­nya dalam pembentukan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) NU-Summa, di mana NU melakukan penafsiran ulang dan kontekstualisasi terhadap konsep-konsep fiqh klasik yang berkenaan dengan masalah “riba”, dan juga tentang “kebolehan” bekerjasama (ta awwun) dengan pihak non­Muslim dalam pengembangan sosial-ekonomi ummat Islam. Sedang­kan Muhammadiyah, pada pihak lain, meski pada dasarnya juga sangat adaptif dan akomodatif terhadap institusi moderen, tetapi pada tingkat ideologi keagamaan adalah revivalis, karena orientasi yang kuat dalam paham keagamaannya kepada Salafisme. Paradigma ideologis Muham­madiyah adalah kembali kepada Islam pristine, Islam yang “murni” sebagaimana dipraktekkan Nabi Muhammad dan para sahabatnya.

Kemungkinan lain untuk melihat NU berdasarkan kerangka Rah­man bahkan telah dilakukan Barton dalam studinya mengenai gerak­an atau pemikiran neo-modernisme di Indonesia. Ia memasukkan Abdurrahman Wahid ke dalam kelompok pemikir kontemporer Is­lam Indonesia, yang secara khas, menurut Barton, mewakili fenom­ena neo-modernisme. Mereka, selain Abdurrahman Wahid, juga men­cakup Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, dan Ahmad Wahib.’

Tetapi, dalam buku ini tipologi neo-modernis tidak digunakan untuk melihat NU. Sebaliknya, balk secara eksplisit maupun implisit, tipologi yang digunakan adalah tipologi tradisionalis. Atau tipologi yang merupakan sedikit penyesuaian, persisnya tipologi tradisionalis radikalis, yang digunakan Nakamura dalam beberapa artikelnya yang juga dimuat dalam buku ini.

Apa sebenarnya esensi Islam tradisionalis yang dianut NU? Pen­jelasan dan argumen Seyyed Hossein Nasr kelihatan bisa secara cukup sempurna untuk melihat Islam tradisional versi NU.

Menurut Nasr, istilah “tradisi” sebagaimana digunakan kaum tra­disionalis sendiri mengacu kepada wahyu Allah dan pengungkapan atau pengejawantahan wahyu tersebut dalam kehidupan historis manusia di lingkungan tertentu. Karena itu tradisi mencakup tiga aspek penting. Pertama, al-din dalam pengertian seluas-luasnya, yang mencakup seluruh aspek agama dan ramifikasinya; kedua, al-sunnah, yang terbentuk dan berkembang berdasarkan model-model sakral, sehingga menjadi tradisi; dan ketiga, silsilab, yakni mata rantal yang menghubungkan setiap periode, episode, atau tahap kehidupan dan pemikiran dalam dunia tradisional kepada Yang Maha Awal. Singkat­nya, “tradisi” mengandung makna segala kebenaran sakral, abadi; kebijaksanaan perennial; dan penerapannya yang terus menerus dari prinsip-prinsipnya yang abadi kepada berbagai kondisi ruang dan waktu.’

Elaborasi sangat bagus-yang dalam segi-segi tertentu bukan tidak mirip dengan kerangka Nasr itu-tentang NU diberikan oleh Martin van Bruinessen dalam buku ini. Menurut Martin, dalam memahami NU pertama-tama harus dipahami dulu. apa yang dimaksud dengan istilah “tradisi”. Menurut dia, terdapat beberapa konsep kunci dalam Islam yang sering diterjemahkan sebagai “tradisi”. Yang terpenting di antaranya adalah hadis, sunnah, dan adat. Tetapi, Martin berargu­men, tidak satupun di antara ketiga istilah ini yang bersifat co-exten­sive dengan “tradisionalisme” Muslim.

Hadis yang secara sederhana berarti “berita”, tetapi juga sering diterjemahkan sebagai “tradisi” adalah pernyataan yang dikaitkan de­ngan Nabi Muhammad tentang berbagai tindakannya. Hadis tentu saja merupakan sumber utama sunnab dan, karena itu, merupakan sumber doktrinal yang paling otoritatif bagi kaum Muslimin. Bah­kan hadis memiliki dampak lebih besar dalam kehidupan mereka, karena hampir seluruh hal yang bersangkutan dengan keimanan dan ibadah harus lebih dahulu dirinci, dijelaskan, dan diabsahkan hadis.

Seluruh kaum Muslimin, dengan demikian, sangat mementing­kan hadis, setidaknya dalam seluruh aspek kehidupan keagamaan mereka. Tetapi, seperti dikemukakan Martin, terdapat perbedaan di

antara kaum modernis dan reformis-di sini dia menyebut kedua ke­lompok ini dalam tarikan nafas yang sama-dengan kaum tradisionalis dalam memperlakukan hadis. Kelompok modernis dan reformis ten­tu saja terkenal dengan slogan mereka; yakni “kembali kepada al­Qur’an dan hadis”. Dalam konteks terakhir, yang mereka maksud­kan adalah hadis sahih, yakni hadis-hadis yang betul-betul telah teruji otentisitasnya, tidak mengandung kelemahan-kelemahan tertentu baik dari segi sanad maupun matan.

Sebaliknya kaum tradisionalis yang juga mengakui sangat pen­tingnya hadis-hadis sahih. Berdasarkan pada hasil survei yang dilaku­kannya sendiri terhadap kitab-kitab kuning yang beredar di lingkung­an kaum tradisionalis,8 menurut Martin, sebelum awal abad 20 kaum tradisionalis Indonesia tidak menggunakan kumpulan hadis Sahih Bukhari dan Muslim di lingkungan pesantren untuk mereka pelajari dan ajarkan kepada para santri mereka. Sebaliknya, yang lebih popu­ler di lingkungan mereka adalah kitab-kitab kumpulan “Hadis Em­pat Puluh”, atau kitab-kitab kumpulan hadis ibadah dan akhlak. Lebih jauh lagi, kebanyakan mereka menemukan hadis dalam bentuk yang sudah “diproses”, yakni yang digunakan sebagai pendukung argu­men-argumen fiqh, yang mereka pelajari sebagai subyek utama dalam pesantren. Di sini, tulis Martin, kita sampai kepada inti (core) tradi­sionalisme NU, yakni mengikuti ulama-ulama besar di masa silam daripada mengambil kesimpulan-kesimpulan sendiri berdasarkan al­Qur’an dan hadis (h. 167).

Hemat saya, treatment kaum tradisionalis umumnya terhadap hadis lebih daripada apa yang dikemukakan Martin tadi. Kaum tradisiona­lis-khususnya NU-cenderung menerima hadis secara relatif long­gar dan, karena itu, tidak terlalu kritis atau tidak sangat mempersoal­kan tentang apakah hadis-hadis yang mereka terima itu benar-benar merupakan hadis sahib atau hadis dhaif (lemah), khusus dari segi sa­nadnya. Bagi mereka kelihatannya yang lebih penting adalah matan atau substansi hadis, apalagi jika hadis tersebut dipandang dapat men­dorong mereka ke arah fadhd’il al- amal, keutamaan atau kesempur­naan amal-ibadah. Pengadopsian hadis seperti itulah yang menjadi­kan ibadah kaum tradisionalis lebih “berbunga-bunga”, penuh de­ngan tambahan-tambahan, yang oleh kaum modernis dan reformis disebut sebagai â€œbid ah” karena semata-mata berlandaskan pada hadis­

hadis yang lemah.

Sebaliknya, kaum reformis dan modernis, seperti dikemukakan terdahulu, memperlakukan hadis secara ekstra hati-hati. Bagi mereka, yang terpenting adalah otensitas atau kemurnian hadis, terutama dari segi sanadnya. Mereka bisa menerima hanya hadis-hadis yang betul-betul sahih sanadnya; dan sebaliknya menolak hadis-hadis dhd if–yakni cacat sanadnya-meski matan (isi)nya dapat mendorong ke arah apa yang disebut kaum tradisionalis sebagai fadhd’il al- amal. Konsekuensi­nya, ibadah-ibadah kaum modernis dan reformis cenderung tidak ber­bunga-bunga; dengan kata lain, cenderung sangat “bersahaja” dan, kare­na itu, agaknya “kering” dari pengalaman keberagamaan yang intens.

Hadis tentu saja berkaitan erat dengan “Sunnah” yang dalam bahasa Inggris disebut the Prophet tradition. Sunnah merupakan salah satu unsur pokok dalam citra tradisionalisme NU, khususnya di ka­langan para ulamanya. Bahkan kaum Nahdliyyin dan tradisionalis

lain di Indonesia secara distingtif menyebut diri mereka sebagai ahl al-sunnah wa al-jama`ah, biasa disingkat aswaja. Dalam pandangan NU, mereka adalah kaum aswaja yang otentik dan sah; dan istilah â€œaswa­ja” umumnya dipandang identik dengan NU. Meski praktis seluruh ummat Islam Indonesia adalah penganut “ahl al-sunnah wa al-jama’ah”, istilah “aswaja” cenderung tidak digunakan oleh organisasi selain NU untuk mencerminkan citra ideologis mereka. Aswaja dalam penger­tian NU tidak mencakup penganut aliran kalam Mu’tazilah, karena penekanan mereka yang cenderung berlebihan pada akal. Begitu juga tidak mencakup kaum Syl’ah. Dan dalam pengertian NU, aswaja cenderung pula tidak mencakup kaum modernis dan reformis. Seba­liknya, mereka yang disebut terakhir ini, tentu saja menolak pandang­an NU tersebut.

Posisi religio-ideologis NU dalam hal hadis dan dan sunnah seperti itu diperkuat lagi oleh sikapnya yang khas dalam fiqh. Mazhab figh, seperti dikemukakan Martin, agaknya juga merupakan salah satu konsep yang paling sentral dalam lingkungan Islam tradisional. Bagi kaum tradisionalis figh adalah “ratu” ilmu-ilmu Islam. Figh dipan­dang sebagai panduan bagi segenap tingkah laku dan perbuatan kaum Muslimin, yang menetapkan mana yang boleh dikerjakan dan mana yang tidak.

Sejauh menyangkut figh, MU sangat menekankan taglid dan, se­baliknya cenderung tidak mendorong ijtihad. Sebab, dalam pandang­an NU adalah berbahaya jika seseorang berpegang hanya kepada ba­caan dan pengertiannya sendiri mengenai al-Qur’an dan hadis. Bah­kan tindakan seperti ini dapat membawa kepada dosa besar. Oleh sebab itulah kaum Muslimin ditekankan untuk mengikuti secara ketat ijtihad yang telah distandardisasikan dalam empat mazhab figh Sun­ni, yakni Hanafi, Syafi`i, Maliki, dan Hanbali.

Hal ini nampaknya perlu dielaborasi lebih lanjut. Di sini Martin mengemukakan suatu argumen yang menarik; bahwa penekanan kaum tradisional terhadap taglid kelihatannya bersumber dart pan­dangan pesimistik tentang sejarah. Menurut pandangan ini, ilmu pengetahuan (knowledge) dan kesalehan pastilah semakin berkurang dengan kian jauhnya jarak dari pewahyuan yang disampaikan Nabi Muhammad. Konsekuensinya, ulama-ulama masa kini hanya meru­pakan bayangan saja ulama-ulama besar di masa silam. Sebab itu, melakukan ijtihad sendiri merupakan kesombongan yang tidak sah (h. 168).

Selain bersumber dari pandangan sejarah seperti itu, penekanan NU pada pentingnya taglid, menurut Martin, juga bersumber dari penghormatan dan respek mereka yang begitu tinggi kepada ulama, baik yang sudah wafat maupun yang masih hidup. Ini didasarkan pada hadis Nabi yang menyatakan bahwa ulama adalah pewaris para nabi (al-`ulamd’warathat al-anbiyd). Tetapi, penghormatan kepada ul­ama di lingkungan kaum tradisionalis cenderung berlebih-lebihan, sehingga mendatangkan gugatan tidak hanya dari kubu modernis dan reformis, tetapi bahkan dari kalangan muda NU. Dewasa ini terda­pat beberapa pemikir muda NU yang cenderung liberal, yang meng­anggap bahwa penghormatan itu merupakan semacam “feodalisme ulama”.

Kaum modernis dan reformis, seperti diketahui, tentu saja sangat menekankan ijtihad dan menolak keras apa yang mereka sebut se­bagai “taglid buta”, yakni mengikuti saja pendapat ulama masa lam­pau tanpa pemikiran kritis. Bagi mereka sikap taglid merupakan salah satu sebab pokok kemunduran Islam dan kaum Muslimin. Karena itu, jika kaum Muslimin ingin maju, mereka harus meninggalkan sikap taqlid buta dan, sebaliknya, mengembangkan ijtihad; berpikir secara independen untuk menghasilkan rumusan-rumusan baru yang lebih sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan zaman.

Apakah sikap taglid itu betul-betul rigid dan tidak memberi pelu­ang sama sekali bagi intervensi akal? Lagi-lagi Martin mengemuka­kan argumen yang provokatif. Menurut dia, taqlid tidak harus berar­ti kaku (rigid). Berkenaan dengan kesediaan kaum tradisionalis un­tuk mengakomodasi berbagai pendapat yang berbeda dan inkonsis­ten dalam mazhab-mazhab figh yang ada, terdapat potensi tertentu bagi pengembangan dan penyesuaian. Dan inilah yang’sebenarnya terjadi dalam waktu akhir-akhir ini; bahwa kaum ulama tradisionalis kelihatan lebih fleksibel dan longgar dalam meresponi berbagai mas­alah fighiyah dibandingkan dengan ulama-ulama reformis dan moder­

nis. Kelompok terakhir ini bahkan cenderung tidak berkembang; po­sisi mereka sekarang tetap sama dengan posisi yang mereka ambil sejak awal abad 20. Ini adalah sebuah ironi, tulis Martin (h. 169).

Terlepas dari persoalan ini, penghormatan kaum tradisionalis ke­pada kepada ulama selain memunculkan sikap taqlid, juga memun­culkan sejumlah tradisi lain. Salah satu di antaranya berkenaan dengan dunia keilmuan. Dalam dunia kaum tradisional, transmissi keilmuan­baik lisan maupun tertulis-melibatkan hubungan personal yang akrab antara guru dan murid. Hubungan tersebut diformalisasikan dengan penggunaan sistem isnad, vakni mata rantai guru-murid se­cara berkesinambungan dari mata rantai terakhir sampai kepada ula­ma pertama, yang dipandang sebagai sumber paling otoritatif dalam bidang ilmu tertentu. Sang murid harus senantiasa memberikan res­pek dan penghormatan kepada guru-guru yang terdapat dalam isnad yang ada, sekalipun mereka sudah meninggal dunia. Bahkan mereka yang sudah wafat ini, bagi kaum tradisional, merupakan semacam washilah (penghubung) untuk mendapatkan barakah dan syafd at.

Dari sinilah muncul sebuah tradisi lainnya di kalangan kaum tra­disionalis, termasuk NU. Tradisi itu dikenal sebagai kbaul (Arab, bawl) yang dilaksanakan, baik secara individual maupun massal, untuk memperingati wafatnya ulama tertentu di antara mereka. Menurut Martin, khaul adalah semacam “ziarah kubur” yang dipandang kaum tradisionalis sebagai perbuatan yang amat baik. Dan khaul merupa­kan bagian dari keseluruhan praktek yang kompleks, yang berkaitan dengan orang yang telah mati. Praktek-praktek tersebut didasarkan pada anggapan, bahwa semacam kontak masih terdapat di antara orang hidup dengan mereka yang telah wafat. Oleh karena itu, kalangan kaum tradisional menyelenggarakan khaul, yang antara lain men­cakup tablilan pada malam-malam tertentu yang pahalanya ditu)’u­kan kepada orang yang telah wafat tersebut. Pada pihak lain, orang­orang yang masih hidup, ketika menziarahi kubur memohon kepada orang yang telah wafat tersebut untuk menjadi washilab agar di­penuhi permintaannya oleh Tuhan, apakah disembuhkan dari pe­nyakit tertentu, dinaikkan jabatannya, dimurahkan rezekinya, dan lain-lain.

Praktek-praktek seperti ini sering bercampur baur dengan tradisi kepercayaan dan praktek lokal. Tetapi ini justru merupakan sebuah lagi esensi tradisionalisme Islam, khususnya NU, yang berkaitan de­ngan sikap mereka terhadap adat, atau tradisi lokal. Menurut Mar­tin, Islam mempunyai hubungan yang sangat ambivalen dengan adat, tegasnya “tradisi” yang bersumber dari praktek lokal. Kaum reformis dan modernis tentu saja menolak dan bahkan sering menuduh bahwa praktek-praktek keagamaan kaum tradisionalis penuh dengan praktek-praktek lokal atau adat yang berasal dari tra­disi lokal non-Islam. Bahkan, praktek-praktek di sekitar khaul dan ziarah kubur, dalam pandangan kaum reformis dan modernis, meru­pakan perbuatan-perbuatan musyrik. Sebaliknya, kaum tradisionalis sendiri membantah keras tuduhan tersebut. Mereka menegaskan, ula­ma tradisionalis juga telah berperan besar dalam perjuangan Islam melawan praktek-praktek adat yang bertentangan dengan agama (h. 165).

Menyimpang dari Tradisi

Sikap akomodatif kaum tradisional tidak hanya terlihat dalarn lapangan keagamaan. Bahkan akomodasionisme keagamaan ini juga segera terlihat bidang politik. Tegasnya, perspektif pemikiran poli­tik NU, seperti kaum Muslimin tradisionalis lain umumnya by na­ture, bersifat akomodatif dan bahkan submissif vis-a-vis kekuasaan. Hal ini tidak mengherankan, karena setidaknya secara teoritis, pemi­kiran dan kultur politik NU merupakan representasi t1pikal politik Sunni secara keseluruhan. Ini karena pemikiran dan kultur politik NU bersumber dari tokoh-tokoh pemikir politik Sunni seperti al­Mawardi, al-Ghazali, dan lain-lain. Secara aktual, pemikiran dan kul­tur politik NU yang akomodatif tersebut misalnya diwujudkan dalam tindakan politik NU pada 1954 untuk menganugerahkan otoritas (tawliyah) dan gelar â€œWaliyul Amri Dharuri bi asy-Syaukah” kepada Presiden Soekarno. Selanjutnya pada 1960 ketika Soekarno mener­apkan “Demokrasi Terpimpin” dan “melarang” Masyumi, NU terga­bung ke dalam Nasakom (nasionalisme, agama, dan komunisme) dan memandang dirinya sebagai “representasi” dari kaum agama, persisnya Islam.9

Sebaliknya, kaum modernis atau reformis cenderung kurang ako­modatif, tidak hanya dalam lapangan keagamaan, tetapi juga dalam lapangan politik. Hal ini tentu saja mempunyai akar-akarnya dalam “kritisisme” keagamaan kaum modirnis dan reformis yang terlihat jelas dalam kecaman mereka terhadap taqlid dan, sebaliknya men­dorong kaum Muslim untuk berijtihad yang, pada esensinya, lagi­lagi merupakan “gugatan” terhadap pemikiran dan ijtihad ulama masa silam. Selain itu, banyak kalangan modernis dan reformis, sejauh menyangkut politik, terpengaruh oleh konsep-konsep, gagasan­gagasan dan lembaga-lembaga politik Barat, seperti “nasionalisme”, “demokrasi”, “kedaulatan rakyat”, kebebasan pendapat dan sebagai­nya. Alasan-alasan inilah yang antara lain agaknya bisa menjelaskan kenapa tokoh-tokoh modernis atau reformis seperti Mohammad Natsir dan banyak tokoh Masyumi lainnya, cenderung tidak mau kompromi dalam menghadapi Soekarno, khususnya ketika tokoh terakhir ini semakin diktatorial dan represif.

Lawan-lawan politik NU sering menuduh organisasi tradisionalis ini sebagai oportunis politik, yakni mengambil keuntungan sendiri ketika kalangan reformis dan modernis Muslim justru terlibat dalam perbedaan pendapat dan konflik tajam dengan Soekarno. Bahwa sayap reformis dan modernis terlibat pertarungan dan perebutan pengaruh dalam kancah politik Indonesia dengan sayap tradisionalis yang di­wakili NU, tidak perlu dipersoalkan lagi. Tetapi, secara formal, NU tidak memandangnya dari perspektif pertarungan di antara kedua sayap kaum Muslimin Indonesia int. Sebaliknya, NU mengangkat argumen yang bukannya sederhana untuk mengakomodasi langkah­langkah politik Soekarno; alasan dan hujjah yang diangkat bukanlah alasan-alasan politik per se, tetapi lebih-lebih lagi juga alasan-alasan keagamaan.9

Demikianlah, NU misalnya memutuskan untuk ikut dalam Kabi­net Karya yang dibentuk Presiden Soekarno pada pertengahan 1960 atas dasar maslahah seperti terdapat dalam ushl fiqh. Karena itu, pim­pinan NU mendukung sepenuhnya pengangkatan empat tokoh NU menjadi menteri dalam kabinet tersebut. NU juga melalui keputusan Syuriah yang tidak tegas mengakomodasi keinginan Soekarno agar NU berpartisipasi dalam DPR-GR (Gotong Royong).

Yang menarik adalah bahwa keterlibatan NU dalam tatanan poli­tik Soekarno bukan tanpa persoalan di dalam NU itu sendiri. Terda­pat tokoh-tokoh NU “garis keras” seperti Bisri Sansuri dan Achmad Shiddiq yang menolak keikutsertaan NU dalam kabinet yang juga mencakup PKI. Tetapi, tokoh-tokoh yang lebih akomodatif seperti Wahab Chasbullah akhirnya berada di atas angin. Juga menarik, bah­wa Syuriah NU tidak bisa memberikan keputusan yang pasti tentang boleh atau tidaknya anggota NU menjadi anggota DPR-GR. Menu­rut Syuriah, anggota NU boleh menjadi anggota DPR-GR asal den­gan niat untuk melakukanamarma`rufnahi munkar; sebaliknya tidak boleh karena keterlibatan dalam DPR-GR merupakan semacam gha­sab, yakni pelanggaran hak-hak orang lain [disebabkan tindakan Soekarno]. Dari kasus seperti ini, jelas bahwa NU sebenarnya tidak­lah monolit; terdapat keragaman pandangan-yang boleh jadi berto­lak belakang satu sama lain-khususnya dalam meresponi perkem­bangan politik yang berlangsung. Tetapi, seperti telah diisyaratkan, faksi akomodatif, terutama yang diwakili “sayap” politik NU seperti Wahab Chasbullah dan lain-lain, memenangkan pergumulan pemiki­ran dan kepentingan dalam NU, sehingga organisasi ini menjadi bagian integral dari tatanan politik Soekarno.

NU mulai “menyimpang” dari tradisi politik akomodatif tersebut sejak awal kebangkitan Orde Baru. Situasi ini terus berlanjut sampai masa-masa terakhir, ketika Abdurrahman Wahid “berseberangan” dengan Presiden Soeharto. Bahkan seperti dikemukakan Nakamura, pada tahun 1970-an NU tampil sebagai kelompok pengkritik yang paling lugas terhadap pemerintah Orde Baru. NU tidak hanya mam­pu menghadapi serangan-serangan pemerintah terhadap kekuatan manapun yang mencoba independen dari kekuasaan pemerintah, teta­pi juga mengembangkan kritik yang arnat luas terhadap strategi pem­bangunan yang dilaksanakan pemerintah. “Penyimpangan” dari tra­disi politik akomodatif inilah yang menghasilkan apa disebut Naka­mura sebagai “tradisionalisme radikal” NU. (h. 70).

Penyebutan NU sebagai kelompok “tradisionalisme radikal” di­akui oleh Nakamura sendiri sebagai sesuatu yang kelihatannya para­doks. Tetapi, paradoks itu sebenarnya hanyalah ilusi. Nakamura ber­hujjah, NU menjadi radikal terlepas dari tradisionalisme keagamaan; radikalisme politik itu justru muncul karena tradisionalisme keagam­aannya. Dengan kata lain, sebenarnya secara keagamaan NU tetap­lah tradisional, tetapi secara politik NU telah menjadi radikal.

“Penyimpangan” NU dari tradisi sehingga memunculkan “tradis­ionalisme radikal” bermula dengan semakin tersingkirnya NU dari kancah politik Orde Baru. Sebagaimana diungkapkan dalam tulisan Andree Feillard, meski NU turut melicinkan jalan bagi kemunculan ABRI ke kancah kekuasaan pada masa awal Orde Baru; bahkan ia menyebut terjadinya “aliansi” antara NU dengan ABRI. Namun ke­mudian, pelahan tapi pasti organisasi Islam ini menemukan dirinya semakin terpinggirkan (marginalized). Dan ini mendorong tercipta­nya apa yang dalam istilah Feillardi sebagai hubungan yang canggung (awkward relationship) antara NU dengan ABRI.

Menurut Feillard, kecanggungan hubungan antaPa NU dengan ABRI sudah mulai muncul pada tahun 1966, sebelum NU secara resmi mencalonkan Jenderal Soeharto sebagai presiden. Terdapat beberapa penyebab penting kecanggungan itu. Yang pertama adalah perbedaan antara NU dengan ABRI mengenai kapan Pemilu diselenggarakan. NU menginginkan agar Pemilu diselenggarakan pada 1967; tetapi pemerintah Orba menghendaki pada 1968, dan kemudian bahkan mengundurkannya sampai tahun 1971. Menurut NU pengunduran waktu Pemilu ini memberikan kesempatan kepada ABRI untuk meng­organisasi alat politiknva, yaitu Golkar. Kemudian, NU pada 1966 juga menentang rencana untuk memberlakukan kembali instruksi presiden (Penpres 2/1959) yang melarang para pejabat sipil senior untuk memasuki partai politik. Bagi NU, pemberlakuan kembali kebijaksanaan ini merupakan bagian dari berbagai usaha untuk me­nyingkirkan NU dari posisi-posisi pemerintahan, khususnya Depar­temen Agatna, di mana NU memegang dominasi.

Faktor lain yang membuat hubungan di antara NU dengan ABRI semakin memburuk ialah terdapatnya kecurigaan di kalangan ABRI bahwa NU [dan kalangan Muslim atau tepatnya, “Islamis” lain] meng­hendaki agar Piagam Jakarta dihidupkan kembali dan, dengan demiki­an, masih menginginkan terbentuknya “negara Islam” di Indonesia. Para tokoh NU dan pemimpin Islamis lain tentu saja menolak ke­curigaan bahwa ummat Islam ingin mendirikan negara Islam. Na­mun, situasi tentu saja tidak membaik ketika wakil-wakil NU dan ummat Islam lainnya di MPRS dalam sidang pada 1966 menuntut agar Piagam Jakarta tetap disebut dalam teks-teks resmi. Perdebatan tentang Piagam Jakarta bahkan berkepanjangan sampai 1967 dan 1968, di mana NU dan tokoh-tokoh Islam lainnya menghendaki agar Piag­am Jakarta dicantumkan dalam GBHN. Jenderal Soeharto yang baru terpilih sebagai presiden kemudian mengumpulkan pimpinan keem­pat partai Islam dan meminta mereka untuk menyatukan pengertian tentang Piagam Jakarta.

Tidak begitu jelas apakah mereka mencapai kesepakatan. Yang jelas, konflik terbuka mulai terjadi antara kelompok-kelompok pe­muda Muslim dengan pemuda Katolik yang mengirim surat kepada Presiden Soeharto agar membatalkan salah satu “tugas” Departemen Agama yakni “menerapkan Piagam Jakarta sesuai dengan UUD 1945″. Sementara itu kalangan NU dan Muslim lain yang mempertahankan Piagam Jakarta mulai mendapat julukan “neo-Darul islam”. Pada Juni 1968 pemerintah melarang aparat birokrasi menghadiri acara peringat­an Piagam Jakarta. Selanjutnya, perdebatan tentang Piagam Jakarta menghilang dari media-massa, yang nampaknya harus melakukan â€œself censorship”, sesuai dengan kemauan pemerintah.

Menurut Feillard, puncak dari ketegangan antara NU dengan ABRI terjadi pada waktu menjelang dan seuuai Pemilu 1971. Dalam Pemilu ini NU yang mengalami friksi karena terdapat beberapa ulama yang menyeberang ke Golkar yang didukung ABRI, sangat kritis terhadap ABRI yang dipandang terlalu berat sebelah. Dalam waktu pasca-Pemi­lu, jabatan Menteri Agama tidak lagi diberikan kepada NU, tetapi kepada Mukti All, cendekiawan yang cenderung kepada Muhammadi­yah. Dan beriringan dengan itu, pemerintah melaksanakan fusi par­tai-partai Islam ke dalam PPP, di mana NU hanya memperoleh posi­si yang relatif marginal.

Tetapi, disengagement sebenarnya terjadi tidak hanya antara NU dan ABRI, tetapi dengan kaum Islamis umumnya. ABRI mencurigai tidak hanya NU, tetapi kaum Islamis umumnya sebagai bermaksud

untuk mendirikan “negara Islam”, sebagai akibat dari kontroversi tentang Piagam Jakarta. Pada pihak lain, kaum Islamis sendiri me­mandang, bahwa ABRI dan pemerintah mempunyai “rencana jahat” (plot) untuk melumpuhkan Islam, sebagaimana terlihat dalam RUU Perkawinan 1974, â€œdepolitisasi” Islam dan sebagainya. Kecurigaan timbal batik ini, sebagaimana kita ketahui bertahan setidak-tidaknya sampai paroan kedua dekade 1980. Dengan penerimaan Pancasila se­bagai asas tunggal setiap organisasi politik, sosial-kemasyarakatan, ditambah dengan pergeseran komposisi elit kekuasaan, kecurigaan timbal batik tersebut mulai memudar, yang pada gilirannya mendo­rong terjadinya kembali mutual engagement kedua belah pihak, seperti terlihat jelas dalam pembentukan dan perkembangan awal ICMI. Tetapi, di tengah semua perubahan ini, ironisnya, NU tetap be rada dalam posisi marginal dan, sekaligus, oposan.

Biografi Religio-Politik sebagai Teks

Salah satu kekuatan pokok kumpulan tulisan adalah biografi tiga tokoh penting NU, Wahab Chasbullah, Achmad Shiddiq, dan Abdurrahman Wahid. Berbeda dengan banyak biografi lainnya ten­tang tokoh-tokoh penting dalam organisasi manapun dan bidang apa­pun, biografi ketiga tokoh ini dapat dipandang sebagai teks reiigio­politik NU yang, karena itu, akan membantu orang dalam memaha­mi NU secara lebih akurat. Sebagai teks, Wahab Chasbullah dan Ach­mad Shiddiq telah selesai ditulis, keduanya telah almarhum dan, karena itu, memberikan peluang lebih besar kepada pengamat untuk mem­berikan assessment yang lengkap. Sedangkan teks Abdurrahinan Wa­hid masih dan terus sedang ditulis dan, sebab itu, masih mungkin mengalami “revisi”.

Dua tokoh, Wahab dan Abdurrahman Wahid memiliki banyak kesamaan; keduanya sangat kontroversial, ulama, cendekiawan. dan sekaligus politisi par excellence. Keduanya kelihatan sama-sama rne­miliki eklektisisme yang cukup tinggi. Sedangkan Achmad Shiddiq, lebih merupakan ulama par excellence daripada politisi. Tokoh terak­hir ini kelihatan lebih “kontemplatif”, dan sekaligus lebih hati-hati­sesuai dengan watak keulamaan. Abdurrahman Wahid tentu saja juga dikenal sebagai ulama dan cendekiawan; tetapi sikap eklektisisme dan manuver-manuver politik yang dilakukannya sering menimbuikan pertanyaan tentang integritas dan konsistensi idealisme dan cita-ci ta perjuangannya.

Ketiga tokoh ini, seperti bisa diduga, berasal dari social origin ang sama. Persisnya dari kalangan ulama “darah biru”. Wahab Chasbul­lah adalah anak kiyai kaya, yang sekaligus mengklaim sebagai ketu­runan bangsawan. Kakeknya, Kiyai Sihab, adalah pendiri pesantren Tambakberas. Sedangkan Kiyai Shiddiq, ayahnya berasal dari ling­kungan ulama terkemuka; ayahnya dan kakaknya Kiyai Mazhfoezh Shiddiq pernah menjadi Ketua Umum NU (1937-42). Abdurrahman Wahid, tentu saja, cucu Kiyai Hasyim Asy’ari, salah seorang pendiri NU; dan putra Wahid Hasyim, pemimpin NU yang pernah menja­bat kedudukan Menteri Agama.

Dengan demikian, dari segi intellectual milieu, sejak masa kecil ketiga berasal dari lingkungan yang sama; dan bahkan mungkin tipi­kal NU, persisnya dari lingkungan pesantren. Dalam masa selanjut­nya, ketiganya merupakan representasi tradisi keilmuan yang sama; ketiganya merupakan paripatetic santri, yang melakukan rihlah ‘ilmi­yah untuk mendapatkan ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain, dan untuk selanjutnva ke Timur Tengah. Di sini terdapat perbedaan penting di antara Wahab Chasbullah dengan Abdurrahman Wahid yang sama-sama pernah menuntut ilmu dl Timur Tengah. Jika Wa­hab Chasbullah menuju Mekkah, pusat keilmuan tradisional, seba­liknya Abdurrahman Wahid belajar di Kairo, dan kemudian di Bagh­dad. la bahkan pergi ke Eropa untuk belajar; tetapi ia tak bisa masuk universitas; begitu juga harapannya untuk memasuki McGill Uni­versity Montreal juga tidak terwujud. Pengalaman keilmuan di Kairo dan Baghdad, dan juga di Eropa kelihatannya tidak mengantarkan Abdurrahman untuk lebih mendalami ilmu-ilmu Islam tradisional, sebagaimana terdapat di Mekkah, tetapi justru lebih mengakrabkan­nya dengan pengetahuan, pemikiran dan ilmu-ilmu Barat. Agaknya pengembaraan intelektual seperti inilah yang membuat pemikiran Abdurrahman Wahid jauh lebih kosmopolitan-dan sekaligus lebih eklektik-dibandingkan kedua kiyai lainnya tadi.10

Wahab Chasbullah, yang secara biografis cukup lengkap dilukiskan Greg Fealy, adalah tokoh kontroversial, yang mengundang kekagum­an sebagian ummat NU dan sekaligus kebencian bagi sebagian lain­nya. Bagi para pendukungnya Wahab adalah ulama yang dinamis dan inspirasional; dan bahkan ada yang menganggapnya sebagai “wall” dan “bapak rohani”. Sedangkan bagi penentang dan lawan-lawannya, dia adalah contoh terjelek dari keulamaan; otoriter, fuehrerNU, pemecah belah, kiai Nasakom, kasuistik, nail secara politik, dan korup (h. 1).

Kenapa \Vahab Chasbullah begitu kontroversial? Pertama agak­nya berkenaan dengan karir yang tidak terlalu tipikal bagi kalangan NU. Kembali dari belajar di Mekkah, misalnya, ia tidak menuju Pe­santren Tambakberas untuk mengajar; sebaliknya ia menetap di Sura­baya untuk menjadi pedagang, yang mendorongnya untuk mendiri­kan organisasi Nahdhatul Tujjar pada 1918. Bisnisnya yang paling menguntungkan adalah menjadi agen perjalanan haji, sampai ia me­miliki perusahaan perkapalan Kongsi Tiga. Dalam bisnis inilah be­rakar tuduhan-tuduhan bahwa ia adalah seorang yang korup. Selain berdagang la menceburkan diri pada 1910-an ke dalam Sarekat Islam, dan kemudian bahkan dengan Indische Sociaal-Democratische Ve­reniging (ISDV), sebuah organisasi sayap kiri. Keterlibatan dalam SI dan ISDV mengantarkannya ke dalam kontak dan hubungan dengan tokoh-tokoh terkemuka semasa, seperti Agus Salim, Ki Hadjar De­wantoro, W. Wondoamiseno, Hendrik Sneevliet, Alimin, Muso, Abikusno Tjokrosujoso, dan anak muda Soekarno.

Ketenaran Wahab Chasbullah meningkat bersamaan dengan me­ningginya konflik antara kaum modernis atau reformis dengan kaum tradisionalis. Ia tampil sebagai â€œguardian” tradisionalisme; pertama dengan membentuk organisasi Taswirul Afkar pada 1918, yang ke­mudian melaksanakan perdebatan tentang masalah-masalah yang di­perdebatkan kaum tradisionalis dan modernis. Dia terlibat dalam perdebatan hebat dengan Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah; dan Ahmad Syurkati dari al-Irsyad. Perdebatan ini kemudian ber­lanjutnya dalam Kongres al-Islam di Cirebon pada 1922, di mana Wahab Chasbullah saling tuding, kafir mengkafirkan dengan utusan­utusan Muhammadiyah dan al-Irsyad. Konflik ini terus berkelanjut­an pada masa-masa berikutnya, sampai terjadinya rekonsiliasi pada akhir 1930-an ketika ancaman Kristen semakin meningkat.

Salah satu argumen penting yang diangkat Fealy adalah bahwa Wahab Chasbullah merupakan tenaga penggerak (driving force) di balik pembentukan NU. Ia mungkin kurang mendapatkan dukung­an sebesar yang diperoleh Hasyim Asy`ari dari para. Namun ia pun­ya keunggulan yang sulit disaingi kiyai-kiyai lain, yakni kesiapan kon­sep dan kemampuan organisasi. Jadi, tulis Fealy, Wahab memberi­kan kerangka konsep dan ketrampilan organisasional bagi NU, dan Hasyim Asy`ari menyediakan legitimasi keagamaan (h. 14). Dan ia menjadi rats am NU sepeninggal Hasyim Asy`ari pada 1947.

Sikap kontroversial Wahab Chasbullah juga terlihat dalam pende­katannya terhadap masalah politik. Ia merupakan pionir pendekatan pragmatis dan kurang doktriner dalam kebijakan dan tindakan poli­tik NU. Penafsiran figh dan figh siyasahnya, karena itu, lebih liberal dan realis dibandingkan lawan-lawannya yang disebut Fealy sebagai â€œhardliners” yang mencakup tokoh-tokoh seperti Bisri Sjansuri, Ach­mad Shiddiq, Muhammad Dachlan, dan Machrus All. Perbedaan pendekatan ini pada gilirannya menimbulkan polarisasi dalam NU; di sini Wahab Chasbullah mendapat dukungan dari pemimpin­pemimpin NU yang lebih cenderung kepada politik, seperti Zainul Arifin, Masjkur, Idham Chalid dan Saifuddin Zuhri.

Sejauh menyangkut politik NU pada masa Orla, tidak ragu lagi Wahab Chasbullah adalah tokoh sentral. Ia merupakan tokoh sen­tral mundurnya NU dari Masyumi pada 1 Agustus 1952. Dan ini membuat Wahab Chasbullah semakin prominent. la menjalin per­sekutuan dengan Soekarno, apalagi keduanya kebetulan punya hob­by yang sama, yakni senang kepada perempuan. Meski mendapat tan­tangan dari ulama hardliners, Wahab Chasbullah berhasil mendorong NU untuk terlibat lebih jauh dalam politik Soekarno. Karena itu, tak mengherankan, jika keruntuhan Soekarno kemudian juga mem­

buatnya memudar.

Berbeda dengan Wahab Chasbullah, Achmad Shiddiq, sebagaima­na diisyaratkan tadi, lebih prinsipalis. Tetapi yang menarik adalah bahwa la merupakan salah seorang konseptor terpenting dalam mem­berikan legitimasi teologis NU terhadap Pancasila. Konsep-konsep ini diuraikannya dalam dua karya singkat, yang dibahas Greg Bar­ton, Khittah Nahdliyyah, dan Islam dan Pancasila: Wawancara dengan Rois Aam PBNU KH Achmad Shiddiq. Menurut Achmad Shiddiq,

Pancasila sebagai asas tunggal bukan hanya bisa dipertahankan [se­cara teologis], tetapi juga diperlukan. Karena, Pancasila bukanlah antitesis terhadap Islam; sila-silanya sesuai dan selaras dengan prin­sip-prinsip Islam. Di sini la kemudian menawarkan suatu konsep penting lain, bahwa Pancasila pada dasarnya merupakan realisasi dari konsep tawassuth, yakni rnoderasi atau jalan tengah; dan sebaliknya menghindari sikap ekstrirn (h. 120ff.).

Penutup

Bahwa NU kemudian termasuk organisasi Islam [dan juga organi­sasi non-Islam] yang paling awal menerima asas tunggal Pancasila tidak­lah mengherankan. Memegang kepemimpinan NU bersama Abdur­rahman Wahid, hubungan Islam dan Pancasila merupakan salah satu subjek terpenting dalam wacana NU periode ini. Di samping pene­kanan kedua tokoh NU ini pada pentingnya posisi Pancasila dalam kehidupan negara dan bangsa Indonesia, terdapat perbedaan yang

subtle di antara mereka, khususnya dalam logika justifikasi mereka masing-masing. Kalau Achmad Shiddiq mendasarkan penerimaan Pancasila lebih pada alasan-alasan dan logika keagamaan tradisional, Abdurrahman \Vahid menjustifikasinya dari sudut pandang “neo­modernisme Islam” dan pluralisme demokratis. Seperti dikemuka­kan Douglas Ramage, dia memandang Pancasila sebagai prasyarat bagi demokratisasi dan pengembangan spiritual Islam secara sehat dalam konteks nasional (h. 229).

Seperti sering dikemukakan beberapa tokoh Muslim lainnya, me­nurut Abdurrahman Wahid, Pancasila adalah ideologi nasionalis yang esensial untuk mempertahankan kesatuan Indonesia. Namun berbe­da dengan tokoh-tokoh lain, la berulangkali menekankan credentials nasionalis NU dalam hal Pancasila; bahwa ayahnya Wahid Hasyim juga setuju pada 1945 terhadap pembentukan negara Indonesia ber­dasarkan Pancasila; bahwa NU termasuk di antara organisasi-organ­isasi massa pertama yang mengakui legitimasi Orde Baru dan meneri­ma asas tunggal Pancasila. Persoalannya-yang sayang tidak dijawab sepenuhnya oleh Ramage-adalah kenapa Abdurrahman Wahid te­rus menerus menekankan hal-hal tersebut. Bisa jadi penekanan terse­but didorong oleh motif-motif genuine, atau sekedar ekletisisme, tetapi bisa juga untuk kembali mendekatkan NU dengan pemerintah. Hal terakhir ini tentu saja tidak semudah membalikkan telapak tangan, apalagi Abdurrahman Wahid terus pula melakukan manuver-manu­ver politik, merupakan semacam political maverick, yang tidak begi­tu “berkenan” bagi pemerintah, seperti oposisinya terhadap ICMI, peran sentralnya dalam Forum Demokrasi, dan sebagainya.

Perkembangan akhir-akhir ini-yang tentu saja tidak diliput buku ini-hanya memperkuat gejala political maverick yang dimainkan Abdurrahman. Meninggalkan Forum Demokrasi high and dry, sejak Pemilu 1997 la “membuat” aliansi baru dengan Siti Hardiyanti Ruk­mana. Dan sejak itu, la sering mengemukakan compliments mengenai “keunggulan” Mbak Tutut. Pertanyaan yang patut diajukan kembali adalah: apakah manuver-manuver politik ini tidak menyimpang de­ngan concern Gus Dur tentang demoratisasi -seperti argumen Ram­age. Atau, seba:iknya, apakah manuver-manuver itu akan berhasil mendekatkan kembali NU dengan kekuasaan; dan, dengan demiki­an, kembali kepada paradigma yang pernah dikembangkan Wahab Chasbullah? Pe–anvaan terakhir in’ jelas belum dapat dijawab. 

Catatan Akhir

1. Sebuah karya lain dalam bahasa Inggris tentang NU masih harus kita tunggu penerbitannya, yaitu Martin van Bruinessen, Traditionalist Muslims in a Modern­izing World.. The Nahdlatul Ulama and Indonesia’s New Order.

2. Lihat Deliar Noer, The Modernist Muslim Movement in Indonesia, 1900-1942, Sin­gapore: Oxford University Press, 1973.

3. Lihat Charles Adams, Islamic Modernism in Egypt, 1933, reprint New York, 1968. Kajian klasik tentang biografi, karya dan pemikiran tokoh-tokoh seperti Jamal al-Din al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan para modernis Mus­lim lainnya di Mesir.

4. Lihat Aziz Ahmad, Islamic Modernism in India and Pakistan, 1857-1964, Lon­don, 1967.

5. Lihat Fazlur Rahman, “Islam: Past Inffluence and Present Challenge” dalam Islam: Challenges and Opportunities (Edinburgh: Edinburgh Press, 1979).

6. Lihat, Greg Barton, “Neo-Modernism: A Vital Synthesis of Traditionalist and Modernist Islamic Thought in Indonesia”, Studia Islamika, vol. 2, no. 3, 1995; Greg Barton, “Indonesia’s Nurcholish Madjid and Abdurrahman Wahid as In­tellectual ‘Ulami’: The Meeting of Islamic Traditionalism and Modernism in neo-Modernist Thought”, Studio Islamika, vol. 4, no.1, 1997.

7. Lihat, Seyyed Hossein Nasr, Traditional Islam in the Modern World, London & New York: Kegan Paul International, 1990, 13.

8. Lihat Martin van Bruinessen, “Kitab Kuning: Books in Arabic Script Used in the Pesantren Milieu” BKI, 146 (1990), 226-269; â€œPesantren and Kitab Kuning: Maintenance and Continuation of a Tradition of Religious Learning”, Mizan (Jakarta), V, 2 (1992), 27-48.

9. Lihat, M. Ali Haidar, Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia, Pendekatan Fiqh dalam Politik (Jakarta: Gramedia, 1994).

10. Lihat Mona Abaza, Islamic Education, Perception and Exchanges: Indonesian Stu­dent in Cairo (Paris: Cahier d’Archipel, 23 1994).


[1]Azyumardi Azra, “NU: Islam Tradisional dan Modernitas di Indonesia”, Book Reviw terhadap buku Nahdlatul Ulama: Tradisional Islam and Modernity in Indonesia, Greg Fealy dan Gerg Barton (ed.) dalam Studi Islamika, IV, 4, 1997

[2]Baca lebih lanjut Nur Khalik Ridwan, Islam Borjuis dan Islam Proletar: Konstruksi Baru Masyarakat Islam Indonesia (Yogyakarta: Galang Press, 2001).

[3]Lihat Dr. H. Abudin Nata, MA, Peta Keragaman Pemkiran Islam di Indonesia (Jakarta: Rajawali Press, 2001)

[4]Lihat Azyumardi Azra, op. cit., h.  224

[5]Ibid., h. 224