August 11, 2025

PROGRAM MAGISTER ILMU AL-QUR'AN DAN TAFSIR

Fakultas Ushuluddin dan Humaniora UIN Walisongo Semarang

Al-Qur’an Turun dalam Tujuh Huruf: Analisis Konseptual dan Historis dalam Perspektif Ulumul Qur’an

Pendahuluan

خلفية نزول القرآن (Latar Belakang Turunnya al-Qur’an)

Al-Qur’an bukan hanya sebuah kitab suci yang diturunkan kepada Rasulullah ﷺ, melainkan juga sebuah mukjizat abadi yang tak lekang oleh zaman. Di antara fenomena menarik dari al-Qur’an adalah sabda Rasulullah ﷺ bahwa ia diturunkan “على سبعة أحرف” (dalam tujuh huruf). Pernyataan ini menimbulkan perdebatan panjang di kalangan ulama sejak generasi salaf hingga kontemporer. Apa yang dimaksud dengan tujuh huruf ini? Mengapa Allah memilih cara seperti itu dalam menyampaikan wahyu-Nya?

Dalam konteks sejarah, bangsa Arab dikenal memiliki berbagai macam lahjah (dialek). Suku Quraisy, Tamim, Huzail, Asad, dan lain-lain memiliki perbedaan dalam lafal, kosakata, dan struktur gramatika. Oleh karena itu, penurunan al-Qur’an dalam bentuk yang memperhatikan keanekaragaman bahasa Arab adalah bentuk kemudahan dari Allah ﷻ. Sebagaimana firman-Nya:

﴿وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِن مُّدَّكِرٍ﴾
“Dan sungguh, Kami telah memudahkan al-Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran?”
(QS. al-Qamar: 17)

Makna “kemudahan” dalam ayat ini tidak hanya merujuk kepada pemahaman maknanya, tapi juga kemudahan dalam pelafalan dan pengucapan, khususnya bagi orang Arab dari suku yang berbeda-beda.

Imam al-Zarkasyi dalam al-Burhān fī ‘Ulūm al-Qur’ān menyatakan bahwa penurunan dalam tujuh huruf merupakan bentuk rahmat Allah kepada umat Islam agar mereka tidak merasa kesulitan menghafal dan memahami al-Qur’an. Beliau berkata:

“فإن اختلاف الأحرف لا يوجب اختلافًا في المعنى، بل هو من باب التيسير على الأمة في النطق”
(Perbedaan huruf tidak menyebabkan perbedaan makna, tapi merupakan bentuk kemudahan bagi umat dalam pengucapan).
(al-Burhān, Jilid 1, hlm. 221)

Pentingnya tema ini juga terlihat dalam diskusi para ulama besar seperti Imam al-Suyuthi, al-Nawawi, al-Zarqani, dan Subhi al-Shalih. Setiap dari mereka menekankan bahwa memahami konsep tujuh huruf ini merupakan kunci penting dalam memahami ilmu qira’at, tafsir, dan bahkan sejarah kodifikasi al-Qur’an.

أهمية دراسة سبعة أحرف (Urgensi Kajian tentang Tujuh Huruf)

Mengapa kita harus memahami “sab‘atu ahruf”? Jawabannya sederhana: karena ini menyangkut keotentikan al-Qur’an dan keberagaman dalam cara membacanya yang sampai hari ini masih dipraktikkan oleh kaum Muslimin.

Tanpa pemahaman yang benar, seseorang bisa terjebak dalam kesalahan berpikir bahwa perbedaan dalam bacaan al-Qur’an merupakan bentuk distorsi atau perubahan. Hal ini yang kadang dimanfaatkan oleh para orientalis untuk menyerang kemurnian al-Qur’an.

Prof. Dr. Subhi al-Shalih dalam Mabāḥits fī ‘Ulūm al-Qur’ān menjelaskan:

“إن مسألة الأحرف السبعة من أعقد مسائل علوم القرآن وأدقها، ولا غنى لطالب العلم عن إدراكها”
(Masalah tujuh huruf adalah salah satu permasalahan paling rumit dan detail dalam Ulumul Qur’an, dan tidak boleh diabaikan oleh penuntut ilmu).
(Mabāḥits fī ‘Ulūm al-Qur’ān, hlm. 167)

Bahkan dalam Manāhil al-‘Irfān, al-Zarqani menjelaskan bahwa perbedaan dalam tujuh huruf bukanlah bentuk kontradiksi, melainkan bentuk tausyī‘ah (pelapangan) yang tidak mengubah substansi wahyu. Dalam hal ini beliau berkata:

“القراءات السبع لا تختلف في العقيدة ولا الأحكام وإنما تختلف في اللفظ والنطق”
(Qira’at sab‘ah tidak berbeda dalam akidah maupun hukum, melainkan hanya berbeda dalam lafadz dan pelafalan.)
(Manāhil al-‘Irfān, Jilid 1, hlm. 170)

Maka dari itu, memahami konsep “tujuh huruf” menjadi sangat penting bukan hanya untuk akademisi, tapi juga bagi siapa pun yang ingin mendalami al-Qur’an secara menyeluruh dan tidak setengah-setengah.

معنى “سبعة أحرف” في الحديث النبوي (Makna “Tujuh Huruf” dalam Hadis Nabi)

نص الحديث (Redaksi Hadis tentang Tujuh Huruf)

Hadis-hadis tentang turunnya al-Qur’an dalam tujuh huruf diriwayatkan dari banyak sahabat dan dinilai mutawātir secara makna oleh para ulama hadis. Di antaranya, diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim dari Umar ibn al-Khattab:

قال النبي ﷺ: “إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ أُنْزِلَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ، فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ”
“Sesungguhnya al-Qur’an ini diturunkan atas tujuh huruf, maka bacalah apa yang mudah darinya.”
(HR. al-Bukhari no. 4992; Muslim no. 818)

Ada pula redaksi lain yang menyebutkan adanya perdebatan antara sahabat, seperti riwayat dari Ubay bin Ka’ab:

قال: “لقيَ رجلانِ من أصحابِ النبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم في سَفرٍ، فقرأ أحدُهما سورةً على حَرفٍ، وقرأ الآخرُ على غيرِ حَرفِه، فاختصما إلى النبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم، فقال: «إِنَّ اللهَ أَمَرَنِي أَنْ أَقْرَأَ الْقُرْآنَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ»”
(Dua orang sahabat Nabi berselisih karena perbedaan bacaan, lalu mereka mengadukannya kepada Nabi, dan beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah memerintahkanku membaca al-Qur’an dalam tujuh huruf.”)
(HR. Muslim no. 820)

Imam al-Nawawi dalam al-Tibyān fī Ādāb Ḥamalat al-Qur’ān mengatakan bahwa hadis ini mencapai derajat mutawātir, dan seluruh ulama Ahlus Sunnah menerima kebenarannya. Beliau menyatakan:

“أحاديث الأحرف السبعة متواترة، لا يمكن إنكارها، وقد تلقاها العلماء بالقبول”
(Hadis-hadis tentang tujuh huruf adalah mutawatir, tidak bisa diingkari, dan diterima oleh para ulama secara ijma’.)
(al-Tibyan, hlm. 75)

ضرورة الفهم العميق لهذا الحديث (Pentingnya Memahami Hadis Ini secara Mendalam)

Mengambil pemahaman literal dari kata “huruf” sebagai “huruf hijaiyah” tentu menyesatkan. Dalam bahasa Arab klasik, kata “حرف” bisa berarti gaya, bentuk, atau jenis ekspresi bahasa. Oleh karena itu, “tujuh huruf” lebih tepat diartikan sebagai tujuh bentuk variasi linguistik, bukan tujuh huruf abjad Arab.

Prof. Dr. Subhi al-Shalih menyatakan bahwa makna “huruf” di sini merujuk kepada variasi fonetik, morfologis, dan sintaksis dalam bahasa Arab klasik. Ia berkata:

“الحرف هنا ليس بمعنى الحرف الأبجدي، بل هو طريقة أو أسلوب لغوي مختلف يتفق مع السياق والمعنى”
(Kata “huruf” di sini bukanlah huruf abjad, melainkan bentuk atau gaya bahasa yang berbeda-beda namun tetap sesuai konteks dan makna.)

Pemahaman seperti ini sangat penting untuk menghindari kesalahpahaman tafsir dan untuk memahami mengapa umat Islam memiliki beragam qira’at yang semuanya valid dan bersumber dari Rasulullah ﷺ.

رُؤَى العُلَمَاءِ في مَعْنَى “سَبْعَةِ أَحْرُفٍ” (Ragam Pendapat Ulama tentang Makna “Sab‘atu Ahruf”)

الرأي الأول: الأحرف السبعة هي لهجات العرب (Pendapat Pertama: Tujuh Huruf adalah Tujuh Dialek Arab)

Pendapat yang paling masyhur di kalangan ulama klasik adalah bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh dialek utama suku Arab. Pendapat ini dipegang oleh banyak tokoh seperti Abu Ubayd al-Qasim bin Sallam, Ibn Qutaibah, dan dipilih pula oleh sebagian besar mufassir generasi awal. Dalam pandangan ini, kata “huruf” diartikan sebagai “lahjah” atau dialek.

Imam al-Suyuthi menyebutkan dalam al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān:

“والصحيح أن المراد بها سبعة أوجه في الكلام من اختلاف الألفاظ واتحاد المعاني، أو تقاربها، وهو مروي عن جماعة من الصحابة والتابعين”
(Pendapat yang kuat adalah bahwa yang dimaksud tujuh huruf adalah tujuh bentuk perbedaan dalam lafadz namun memiliki makna yang sama atau mendekati, dan ini diriwayatkan dari banyak sahabat dan tabi’in.)
(al-Itqan, Jilid 1, hlm. 128)

Pendapat ini juga disokong oleh realitas sejarah: bahwa bangsa Arab pada masa turunnya al-Qur’an memiliki banyak sekali perbedaan dalam aspek bahasa. Sebagai contoh:

  • Suku Quraisy mengatakan: “تعالَ”
  • Suku Hudhail mungkin mengatakan: “هَلُمَّ”
  • Suku Tamim lebih memilih: “أقبلْ”

Ketiganya memiliki arti yang sama: “mari” atau “kemarilah”, namun menggunakan ekspresi linguistik yang berbeda.

Allah ﷻ kemudian menurunkan wahyu dalam berbagai bentuk ini agar seluruh suku dapat memahami dan menghafal wahyu tanpa merasa terasing oleh gaya bahasa yang asing. Dalam konteks ini, Rasulullah ﷺ bersabda:

“أُمِرْتُ أَنْ أَقْرَأَ الْقُرْآنَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ”
“Aku diperintahkan untuk membaca al-Qur’an dalam tujuh huruf.”
(HR. al-Bukhari dan Muslim)

Namun, para ulama juga menekankan bahwa tidak ada satu pun riwayat sahih yang secara eksplisit menyebut nama-nama suku atau dialek tersebut secara terperinci. Oleh karena itu, sebagian ulama kontemporer melihat pendekatan ini sebagai taqribi (pendekatan mendekati realitas), bukan definisi literal.

الرأي الثاني: الأحرف السبعة أنماط لغوية (Pendapat Kedua: Tujuh Huruf adalah Jenis Variasi Linguistik)

Pendapat lain yang cukup kuat menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf bukanlah tujuh suku atau dialek, tapi tujuh jenis perbedaan dalam bahasa Arab yang mencakup aspek berikut:

  1. Perbedaan dalam sinonim (al-mutarādifāt)
  2. Perbedaan dalam perubahan i‘rab (gramatikal)
  3. Perbedaan dalam bentuk jumlah (tunggal, dual, jamak)
  4. Perbedaan dalam susunan kata (taqdim dan ta’khir)
  5. Perbedaan dalam harakat
  6. Perbedaan dalam pengguguran kata atau penambahan
  7. Perbedaan dalam bentuk fi’il dan ism

Al-Zarqani dalam Manāhil al-‘Irfān menegaskan bahwa tujuh huruf adalah tujuh jenis ragam kebahasaan yang diizinkan dalam pelafalan al-Qur’an, dan bukan menunjuk pada nama suku tertentu:

“الأحرف السبعة هي أنواع من الاختلاف الجائز في التلاوة، لا لهجات قبائل معينة”
(Tujuh huruf adalah jenis-jenis perbedaan yang diperbolehkan dalam bacaan, bukan nama-nama suku tertentu.)
(Manāhil al-‘Irfān, Jilid 1, hlm. 172)

Pendekatan ini memberikan solusi bagi banyak problem dalam memahami bacaan yang secara fonetik sangat berbeda namun tetap dinisbatkan kepada Rasulullah ﷺ. Contohnya:

  • وَجَاءَتْ سَكْرَةُ الْمَوْتِ بِالْحَقِّ
    dalam Qira’at lain dibaca:
    وَجَاءَتْ سَكْرَةُ الْمَوْتِ بِالْحَقِّ

Perbedaannya sangat kecil dalam harakat, tapi tetap sah dan memiliki sandaran.

الرأي الثالث: الجمع بين الأقوال (Pendapat Ketiga: Pendekatan Kompromi)

Sebagian ulama modern dan kontemporer, termasuk Prof. Dr. Manna’ al-Qattan dan Prof. Dr. Subhi al-Shalih, mencoba mendamaikan pendapat-pendapat tersebut. Mereka menyatakan bahwa “tujuh huruf” adalah gabungan dari perbedaan dialektis dan variasi linguistik, bukan hanya salah satu dari keduanya.

Dalam Mabāḥits fī ‘Ulūm al-Qur’ān, Subhi al-Shalih menulis:

“الصواب أن الأحرف السبعة تشمل لهجات العرب المختلفة، وتتضمن أنواع التغيير في الألفاظ والتراكيب، وهي رخصة وتوسعة من الله تعالى”
(Pendapat yang kuat adalah bahwa tujuh huruf mencakup dialek-dialek Arab yang beragam serta bentuk-bentuk variasi dalam lafadz dan susunan kalimat, sebagai bentuk kemudahan dari Allah.)
(Mabāḥits fī ‘Ulūm al-Qur’ān, hlm. 169)

Pendekatan ini dianggap paling rasional karena mampu menjelaskan berbagai bentuk qira’at yang sahih serta konsisten dengan semangat التيسير (kemudahan) yang diisyaratkan dalam banyak nash.

أدلة الأحاديث حول الأحرف السبعة (Dalil Hadis Mengenai Tujuh Huruf)

روايات الصحابة الصحيحة (Riwayat Shahih dari Sahabat)

Seperti telah disebutkan sebelumnya, hadis “tujuh huruf” bukan hanya diriwayatkan satu atau dua sahabat, melainkan oleh lebih dari 20 sahabat, termasuk Umar ibn al-Khattab, Ubay bin Ka‘ab, Abdullah ibn Mas‘ud, Abu Hurairah, dan lain-lain.

Imam al-Nawawi berkata:

“الأحاديث الواردة في الأحرف السبعة متواترة، وقد رواها من الصحابة نحو عشرين صحابيًا”
(Hadis-hadis tentang tujuh huruf adalah mutawatir, dan diriwayatkan oleh sekitar dua puluh sahabat.)
(al-Tibyan, hlm. 76)

Salah satu hadis penting diriwayatkan dari Umar bin al-Khattab ketika ia marah karena mendengar seseorang membaca al-Qur’an berbeda dengannya, namun Nabi ﷺ bersabda:

“كِلَاكُمَا صَوَابٌ، إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ أُنْزِلَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ”
“Kalian berdua benar. Sesungguhnya al-Qur’an ini diturunkan atas tujuh huruf.”
(HR. Muslim)

مكانة الحديث بين المحدثين (Tanggapan Ulama Hadis terhadap Validitasnya)

Para ahli hadis seperti Imam Muslim, al-Bukhari, al-Tirmidzi, dan Ibn Hibban mengakui keautentikan hadis ini. Bahkan Imam al-Suyuthi menyebutkan bahwa tidak ada satupun ahli hadis dari kalangan Ahlus Sunnah yang menolaknya.

Hadis ini menjadi landasan kuat dalam ilmu Qira’at, dan dijadikan sebagai dalil utama bahwa variasi bacaan al-Qur’an memiliki dasar dari wahyu, bukan hasil ijtihad sahabat atau ulama belakangan.

أَسْبَاب وُرُود الحَدِيث (Asbab Wurud Hadis Tujuh Huruf)

تَعَدُّدُ أَلْسِنَةِ الْعَرَبِ آنَذَاكَ (Keberagaman Lisan Arab Saat Itu)

Pada masa Rasulullah ﷺ, bangsa Arab terdiri dari berbagai kabilah yang masing-masing memiliki dialek dan gaya bahasa sendiri. Hal ini diakui oleh para ulama sebagai faktor utama yang menyebabkan adanya rukhshah (keringanan) dalam pelafalan al-Qur’an.

Al-Suyuthi dalam al-Itqan menulis:

“وكانت العرب تختلف في اللغات اختلافاً شديداً، فأنزل الله القرآن على سبعة أحرف تيسيراً عليهم”
(Bangsa Arab sangat berbeda dalam dialeknya, maka Allah menurunkan al-Qur’an dalam tujuh huruf sebagai bentuk kemudahan bagi mereka.)
(al-Itqan, Jilid 1, hlm. 130)

Sebagai contoh, kata “أُفٍّ” dalam Quraisy diucapkan seperti aslinya, namun dalam dialek Bani Tamim bisa berubah menjadi “أَخْ” atau bentuk serupa. Sementara itu, kata “هَلُمَّ” diucapkan secara berbeda di berbagai daerah Arab.

Hal ini membuat sebagian sahabat mengalami kebingungan atau bahkan konflik ketika mendengar bacaan yang berbeda dari yang mereka terima dari Rasulullah ﷺ. Contoh yang terkenal adalah perselisihan Umar bin Khattab dengan Hisham bin Hakim, yang kemudian direspons oleh Nabi ﷺ dengan sabdanya:

“كِلَاكُمَا حَسَنٌ صَوَابٌ”
“Kalian berdua benar.”

Pernyataan ini menegaskan bahwa perbedaan bacaan yang diajarkan Nabi ﷺ adalah sah dan diizinkan, bukan berasal dari kesalahan atau kelalaian.

التيسير على الأمة في القراءة والحفظ (Kemudahan bagi Umat dalam Membaca al-Qur’an)

Tujuan utama dari penurunan al-Qur’an dalam tujuh huruf adalah untuk memudahkan umat dalam membacanya. Banyak ulama menyatakan bahwa Allah ﷻ sengaja memberikan keleluasaan ini sebagai bentuk kasih sayang terhadap umat Islam yang beragam dalam kemampuan berbahasa.

Firman Allah ﷻ dalam Surah al-A‘lā:

﴿سَنُقْرِئُكَ فَلَا تَنسَى﴾
“Kami akan membacakan (al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) sehingga engkau tidak lupa.”
(QS. al-A‘lā: 6)

Ayat ini menunjukkan bahwa pelafalan al-Qur’an tidak hanya bersifat tekstual, melainkan juga oral, dan Nabi ﷺ mengajarkan bacaan itu kepada para sahabat sesuai dengan kemampuan mereka.

Imam al-Zarkasyi menyatakan dalam al-Burhān:

“الاختلاف في القراءات إنما كان للتيسير، وكلها منزلة من عند الله على لسان رسوله”
(Perbedaan dalam qira’at adalah untuk memudahkan, dan semuanya diturunkan dari Allah melalui lisan Rasul-Nya.)
(al-Burhān, Jilid 1, hlm. 225)

Perbedaan ini juga berfungsi untuk memudahkan penghafalan, karena sebagian orang lebih mudah menghafal dengan struktur bahasa tertentu. Maka, dengan membolehkan variasi dalam lafadz (selama masih dalam koridor wahyu), umat dimudahkan dalam menghafal, memahami, dan mengajarkan al-Qur’an.

مُعَالَجَةُ الْمَسْأَلَةِ فِي كُتُبِ عُلُومِ الْقُرْآن (Pembahasan dalam Kitab-Kitab Ulumul Qur’an Muktabar)

رأي الإمام السيوطي في “الإتقان” (Pendapat Imam al-Suyuthi dalam al-Itqan)

Imam Jalaluddin al-Suyuthi (w. 911 H) dalam al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an memberikan perhatian besar terhadap topik tujuh huruf. Dalam pembahasannya, beliau mengutip lebih dari 40 pendapat ulama mengenai makna “sab‘atu ahruf”.

Beliau menyatakan:

“وقد بلغ عدد الأقوال في معنى الأحرف السبعة إلى خمسة وثلاثين قولا، والصحيح منها أنها وجوه من الرخص في القراءة”
(Jumlah pendapat tentang makna tujuh huruf mencapai 35 pendapat. Yang paling kuat adalah bahwa itu adalah bentuk keringanan dalam bacaan al-Qur’an.)
(al-Itqan, Jilid 1, hlm. 131)

Menurut al-Suyuthi, perbedaan itu tidak merusak makna dan semuanya sah karena berasal dari Nabi ﷺ. Ia juga membela validitas hadis-hadis yang berbicara tentang tujuh huruf dan mengkritik orang-orang yang menolaknya.

رؤية الزركشي في “البرهان” (Pandangan Imam al-Zarkasyi dalam al-Burhan)

Imam al-Zarkasyi dalam al-Burhan fi Ulum al-Qur’an mendekati isu ini dengan pendekatan sistematis. Beliau menyebut bahwa:

“الاختلاف في الأحرف ليس من نوع التضاد، بل هو من باب التوسعة والتيسير”
(Perbedaan dalam huruf bukanlah perbedaan yang saling bertentangan, tapi bagian dari pelapangan dan kemudahan.)
(al-Burhan, Jilid 1, hlm. 223)

Beliau membagi perbedaan dalam bacaan al-Qur’an menjadi dua jenis:

  1. Ikhtilaf Tanawwu‘ – perbedaan dalam ragam lafadz tapi makna sama.
  2. Ikhtilaf Tadhād – perbedaan yang bertentangan dalam makna, dan ini tidak terdapat dalam bacaan yang sahih.

Menurutnya, semua bacaan yang sahih adalah bentuk dari ikhtilaf tanawwu‘ dan bagian dari tujuh huruf.

رؤية صبحي الصالح في “مباحث في علوم القرآن” (Kajian Prof. Dr. Subhi al-Salih dalam Mabahis fi Ulum al-Qur’an)

Dalam karya monumentalnya, Prof. Dr. Subhi al-Salih menjelaskan konsep tujuh huruf secara detail dan ilmiah. Ia menyatakan:

“الأحرف السبعة هي سبعة أوجه من النطق العربي، رُخص للناس أن يقرؤوا بها، لكنها ليست كلها محفوظة اليوم”
(Tujuh huruf adalah tujuh cara pelafalan dalam bahasa Arab yang diringankan bagi umat, namun tidak semua masih ada hingga hari ini.)
(Mabahis fi Ulum al-Qur’an, hlm. 173)

Beliau menjelaskan bahwa sebagian dari tujuh huruf telah dihapus (نسخ) pada masa pengumpulan mushaf oleh Khalifah Utsman r.a., dan hanya satu bentuk yang dijadikan standar mushaf.

رؤية الزرقاني في “مناهل العرفان” (Pandangan al-Zarqani dalam Manāhil al-‘Irfān)

Al-Zarqani dalam kitab Manāhil al-‘Irfān fī ‘Ulūm al-Qur’ān memberikan penjelasan yang sangat penting dalam menyikapi isu “tujuh huruf”. Beliau berpendapat bahwa tujuh huruf tidak semata-mata menunjuk kepada jumlah dialek tertentu atau bentuk pelafalan khusus, tetapi lebih kepada keragaman ekspresi linguistik yang diizinkan oleh Nabi ﷺ dalam menyampaikan wahyu.

Beliau berkata:

“اختلاف الأحرف ليس اختلاف تضاد، بل اختلاف تنوع، وكلها منزل من عند الله، وكلها حق، وكلها يُقرأ به”
(Perbedaan huruf bukanlah perbedaan yang kontradiktif, tetapi perbedaan ragam. Semuanya diturunkan dari Allah, semuanya benar, dan semuanya boleh dibaca.)
(Manāhil al-‘Irfān, Jilid 1, hlm. 174)

Zarqani juga membagi qira’at menjadi dua kategori:

  1. Qira’at Mutawatir – Bacaan yang diriwayatkan secara mutawatir dari Rasulullah ﷺ, dan inilah yang termasuk dalam cakupan “tujuh huruf”.
  2. Qira’at Syadzah – Bacaan yang tidak memenuhi syarat mutawatir dan tidak dijadikan hujjah dalam hukum syariat.

Menurutnya, yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah qira’at mutawatir yang memiliki sandaran kuat dari Nabi ﷺ melalui para sahabat. Maka, perbedaan qira’at yang kita kenal saat ini seperti qira’at Hafsh, Warsh, Qalun, dan lainnya adalah produk dari penurunan al-Qur’an dalam bentuk tujuh huruf tersebut.

رأي النووي في “التبيان” (Pandangan al-Nawawi dalam al-Tibyān fī Ādāb Ḥamalat al-Qur’ān)

Imam al-Nawawi, dalam kitabnya yang sangat terkenal di kalangan penghafal al-Qur’an dan para ulama, juga menyentuh isu ini secara singkat namun padat. Beliau menyatakan bahwa hadis tentang tujuh huruf adalah sahih dan telah mencapai derajat mutawatir.

Beliau menegaskan:

“اتفقت الأمة على جواز القراءة بهذه القراءات السبعة وأنها متواترة، وأن الخلاف فيها ليس في المعنى بل في اللفظ”
(Umat telah sepakat akan bolehnya membaca dengan qira’at tujuh dan bahwa semuanya mutawatir. Perbedaannya bukan dalam makna, tetapi dalam lafadz.)
(al-Tibyān, hlm. 76)

Dengan demikian, al-Nawawi mengajak umat untuk tidak menjadikan perbedaan bacaan sebagai sebab perpecahan, melainkan sebagai bentuk rahmat dan keajaiban linguistik dalam penyampaian wahyu ilahi.

العلاقة بين الأحرف السبعة والقراءات السبع (Hubungan antara Tujuh Huruf dan Qira’at Sab‘ah)

هل هما شيء واحد أم مختلفان؟ (Apakah Sama atau Berbeda?)

Pertanyaan yang sering muncul di kalangan pelajar ilmu Qur’an adalah: apakah tujuh huruf yang disebut dalam hadis sama dengan qira’at sab‘ah yang dikenal melalui Imam Nafi‘, Ibn Kathir, Abu ‘Amr, Ibn ‘Amir, ‘Asim, Hamzah, dan al-Kisai?

Jawabannya menurut mayoritas ulama adalah: tidak sama.

Qira’at Sab‘ah merujuk kepada tujuh jalur bacaan yang diriwayatkan secara mutawatir dari para imam qira’at setelah proses kodifikasi bacaan dilakukan. Sedangkan “tujuh huruf” adalah istilah yang digunakan oleh Rasulullah ﷺ untuk menggambarkan jenis-jenis pelafalan al-Qur’an yang diwahyukan dalam bentuk yang lebih luas dan bersifat rukhshah (keringanan) bagi umat.

Prof. Dr. Subhi al-Shalih menyebutkan:

“القراءات السبع ليست هي الأحرف السبعة، وإنما هي جزء منها اختاره القراء المتواترون”
(Qira’at sab‘ah bukanlah tujuh huruf yang disebut dalam hadis, melainkan bagian dari tujuh huruf yang dipilih oleh para qari’ dengan sanad mutawatir.)
(Mabahis fi Ulum al-Qur’an, hlm. 175)

توضيح العلماء بالعقل والنقل (Penjelasan Ilmiah dari Para Ulama)

Banyak ulama menyatakan bahwa jika kita mengartikan tujuh huruf sebagai kategori perbedaan linguistik, maka qira’at yang ada saat ini hanya mencakup sebagian dari tujuh huruf yang dahulu diturunkan. Ini karena pada masa Khalifah Utsman bin ‘Affan, sebagian besar perbedaan itu dihapus demi persatuan umat, dan hanya satu mushaf standar yang dibakukan.

Al-Zarqani dalam Manāhil al-‘Irfān menjelaskan bahwa qira’at yang bertahan sampai sekarang adalah:

“جزء من الأحرف السبعة، لا كلها، وهي التي ثبتت في المصحف العثماني”
(Bagian dari tujuh huruf, bukan semuanya. Hanya yang tertulis dalam Mushaf Utsmani yang dipertahankan.)

Kesimpulannya, meskipun istilahnya sama-sama “tujuh”, namun tujuh huruf dan qira’at tujuh adalah dua hal berbeda, dengan yang pertama merujuk pada izin wahyu dan yang kedua pada warisan bacaan yang berhasil ditransmisikan secara mutawatir.

الحِكْمَةُ مِن نُزُولِ القُرْآنِ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ (Hikmah Penurunan al-Qur’an dalam Tujuh Huruf)

التيسير على الناس (Memudahkan Umat)

Hikmah paling jelas dari penurunan al-Qur’an dalam tujuh huruf adalah untuk memudahkan umat dalam membaca dan menghafalnya. Ini adalah manifestasi nyata dari firman Allah ﷻ:

﴿يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ﴾
“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesulitan bagimu.”
(QS. al-Baqarah: 185)

Dalam tradisi Islam, kemudahan ini merupakan prinsip dasar dalam seluruh aspek syariat. Oleh karena itu, al-Qur’an pun diturunkan dengan memperhatikan kemudahan bahasa dan keberagaman umat penerimanya.

إظهار إعجاز اللغة العربية (Menunjukkan Kemukjizatan Bahasa Arab)

Penurunan al-Qur’an dalam berbagai gaya bahasa juga merupakan bukti keindahan dan kemukjizatan bahasa Arab. Dalam setiap dialek dan gaya bacaan, al-Qur’an tetap terjaga maknanya, menunjukkan bahwa wahyu ini mampu mengakomodasi variasi bahasa tanpa kehilangan keaslian pesan.

Sebagaimana dikatakan oleh Imam al-Suyuthi:

“في اختلاف القراءات إعجاز من نوع خاص، إذ يدل على أن القرآن قادر على التعدد في الأداء دون اختلاف في المعنى”
(Perbedaan qira’at adalah bentuk mukjizat tersendiri, karena menunjukkan bahwa al-Qur’an dapat beragam dalam bacaan tanpa berubah makna.)
(al-Itqan, Jilid 1, hlm. 135)

حفظ الألسنة ومراعاة التنوع (Menjaga Otoritas Lisan Arab di Masa Awal)

Pada masa awal Islam, belum banyak umat Islam yang mampu membaca dan menulis. Mereka belajar langsung dari lisan Rasulullah ﷺ dan para sahabat. Maka, variasi bacaan sesuai dialek suku mereka membantu dalam menghafal dan memahami wahyu dengan lebih mudah.

Penurunan al-Qur’an dalam tujuh huruf adalah bagian dari hikmah syariah dalam menjaga fitrah dan kemampuan umatnya. Ia bukan bentuk kelemahan teks, tetapi kekuatan metode penyampaian wahyu.

إِجْمَاعُ العُلَمَاءِ فِي إِسْقَاطِ بَعْضِ الأَحْرُفِ (Konsensus Ulama tentang Penghapusan Sebagian Huruf)

موقف عثمان بن عفان رضي الله عنه (Pendapat bahwa Utsman bin Affan Menstandarisasi Satu Huruf)

Ketika Islam menyebar ke berbagai wilayah dengan latar belakang suku dan bahasa yang berbeda-beda, muncul konflik dalam bacaan al-Qur’an. Beberapa pasukan Muslim di Kufah dan Syam saling mengingkari bacaan satu sama lain. Maka, sahabat Hudzaifah ibn al-Yaman mengusulkan kepada Khalifah Utsman bin ‘Affan r.a. untuk segera mengambil tindakan sebelum umat Islam berselisih dalam al-Qur’an sebagaimana Yahudi dan Nasrani.

Utsman r.a. kemudian membentuk tim yang terdiri dari sahabat besar, seperti Zaid ibn Tsabit, Abdullah ibn Zubair, Sa‘id ibn al-‘As, dan ‘Abdurrahman ibn al-Harith, untuk menyalin mushaf berdasarkan lughah Quraisy—karena al-Qur’an pertama kali diturunkan dengan dialek ini.

Imam al-Zarqani menulis:

“أمر عثمان بجمع القرآن على حرف واحد، وهو حرف قريش، وترك ما سواه رفعاً للخلاف”
(Utsman memerintahkan agar al-Qur’an dikumpulkan dalam satu huruf, yaitu huruf Quraisy, dan meninggalkan lainnya untuk menghilangkan perpecahan.)
(Manāhil al-‘Irfān, Jilid 1, hlm. 197)

Langkah ini diikuti dengan penghancuran mushaf pribadi yang tidak sesuai dengan mushaf Utsmani, agar umat Islam memiliki satu standar yang sama.

أثر المصحف العثماني في القراءات (Pengaruh Mushaf Utsmani terhadap Qira’at)

Setelah proses standardisasi oleh Khalifah Utsman, hanya sebagian dari tujuh huruf yang dipertahankan, yaitu yang sesuai dengan mushaf Utsmani dan memiliki sanad mutawatir dari Nabi ﷺ.

Al-Suyuthi dalam al-Itqan menulis:

“لم يجمع عثمان الأحرف السبعة كلها، وإنما جمع ما اتفق عليه الصحابة ووافق رسم المصحف”
(Utsman tidak mengumpulkan seluruh tujuh huruf, tetapi hanya yang disepakati oleh para sahabat dan sesuai dengan tulisan mushaf.)
(al-Itqan, Jilid 1, hlm. 140)

Oleh karena itu, qira’at yang sah sekarang adalah bagian dari tujuh huruf yang diakui dan ditransmisikan melalui jalur yang mutawatir. Tidak semua ragam bacaan dari zaman Nabi ﷺ tetap dipelihara karena kondisi sosial dan politik umat Islam yang membutuhkan keseragaman demi menjaga persatuan.

الْجَدَلُ الْمُعَاصِر حَوْلَ الأَحْرُفِ السَّبْعَةِ (Kontroversi Modern Mengenai Tujuh Huruf)

تحديات الدراسات الأكاديمية (Tantangan dalam Kajian Akademik Kontemporer)

Sejumlah orientalis dan akademisi modern mengkritik konsep “tujuh huruf” karena mereka melihatnya sebagai bentuk ketidakteraturan dalam transmisi al-Qur’an. Mereka mempertanyakan otentisitas bacaan yang berbeda dan menganggapnya sebagai kelemahan dalam dokumentasi teks suci.

Namun, para ulama muslim kontemporer seperti Dr. Manna‘ al-Qattan dan Dr. Mustafa al-A‘zami telah menjawab tuduhan ini dengan argumentasi kuat, bahwa:

  1. Perbedaan bacaan adalah bagian dari wahyu, bukan hasil ijtihad sahabat.
  2. Variasi ini tidak menyentuh inti akidah dan hukum, hanya menyentuh ekspresi linguistik.
  3. Semua qira’at mutawatir memiliki sanad yang jelas dan diterima oleh seluruh umat Islam.

الرد على التفسير الحرفي الخاطئ (Kritik terhadap Pendekatan Literalis)

Beberapa pemikir modern keliru menafsirkan “tujuh huruf” sebagai tujuh versi teks berbeda, padahal yang dimaksud adalah tujuh jenis bacaan yang semuanya bersumber dari Rasulullah ﷺ. Perbedaan itu tidak kontradiktif, dan hanya memengaruhi cara melafalkan atau bentuk gramatikalnya.

Imam al-Suyuthi berkata:

“الأحرف السبعة ليست نسخًا مختلفة، بل هي وجوه قرائية أُذن بها النبي صلى الله عليه وسلم”
(Tujuh huruf bukan versi al-Qur’an yang berbeda, tapi ragam bacaan yang diizinkan oleh Nabi ﷺ.)
(al-Itqan, Jilid 1, hlm. 142)

منهج العلماء في التعامل مع الأحاديث المتشابهة (Metodologi Ulama dalam Menyikapi Hadis Mutasyabihat)

التفويض والتأويل في علوم القرآن (Tafwidh dan Ta’wil dalam Ulumul Qur’an)

Beberapa ulama memilih pendekatan tafwidh—yaitu menyerahkan makna pasti dari hadis tujuh huruf kepada Allah tanpa menafikannya. Mereka berpendapat bahwa selama tidak ada dalil yang memaksa untuk memahami secara pasti, lebih baik mengimani sebagaimana adanya.

Sebaliknya, sebagian ulama menggunakan ta’wil, dengan menafsirkan hadis sesuai dengan dalil lain yang lebih eksplisit atau berdasarkan realitas sejarah Islam. Pendekatan ini digunakan oleh al-Zarkasyi dan Subhi al-Salih dalam menjelaskan makna tujuh huruf secara sistematis dan logis.

الاتزان بين الرواية والدراية (Sikap I’tidal antara Riwayat dan Dirayah)

Dalam ilmu hadis dan tafsir, sangat penting menjaga keseimbangan antara riwayat (menerima hadis dengan sanad sahih) dan dirayah (menggunakan akal dan ilmu untuk memahaminya). Ulama seperti al-Nawawi dan Ibn al-Jazari menggabungkan dua pendekatan ini agar tidak terjebak pada pemahaman yang sempit atau tak berdasar.

أهمية دراسة علم القراءات وعلوم القرآن (Pentingnya Kajian Ilmu Qira’at dan Ulumul Qur’an)

آثارها على فهم التفسير (Implikasi terhadap Pemahaman Tafsir)

Memahami qira’at dan tujuh huruf membantu kita memahami perbedaan tafsir yang muncul dalam kitab-kitab klasik. Sebuah ayat bisa memiliki beberapa qira’at, yang semuanya sah, dan masing-masing memberi nuansa makna yang berbeda.

Contohnya:

وَفِي السَّمَاءِ رِزْقُكُمْ وَمَا تُوعَدُونَ
(QS. adz-Dzariyat: 22)

Dalam sebagian qira’at dibaca: “وفي السماءِ رزقَكمْ” (dengan nasb), menunjukkan penegasan akan datangnya rezeki dari langit, bukan sekadar pernyataan.

صلتها بالدراسات الإسلامية المعاصرة (Relevansi terhadap Studi Islam Kontemporer)

Kajian qira’at dan tujuh huruf menjadi krusial dalam menjawab kritik terhadap al-Qur’an di dunia akademik modern. Ia menjadi benteng ilmiah dan historis dalam menjaga keaslian dan kemurnian al-Qur’an, serta memperkuat keyakinan bahwa tidak ada kitab suci lain yang memiliki transmisi seteliti dan sesahih al-Qur’an.

الخاتمة (Kesimpulan)

Penurunan al-Qur’an dalam tujuh huruf adalah bagian dari keajaiban wahyu dan bentuk kasih sayang Allah kepada umat Nabi Muhammad ﷺ. Ia menunjukkan betapa fleksibel dan inklusif wahyu ini dalam menjangkau seluruh lapisan masyarakat Arab saat itu. Meski sebagian huruf telah dihapus untuk menyatukan umat, semangat dan hikmah dari tujuh huruf tetap hidup dalam bentuk qira’at mutawatir yang diwariskan hingga hari ini.

Ulama dari zaman ke zaman telah mengkaji isu ini dengan penuh dedikasi, menyusun puluhan kitab, dan mengajarkannya agar umat tidak terjebak pada pemahaman keliru. Maka, mempelajari tujuh huruf bukan hanya warisan keilmuan, tapi juga bentuk penghormatan terhadap wahyu Allah dan metode Rasulullah ﷺ dalam menyampaikannya. (Mohammad Nor Ichwan)