December 3, 2024

PROGRAM MAGISTER ILMU AL-QUR'AN DAN TAFSIR

Fakultas Ushuluddin dan Humaniora UIN Walisongo Semarang

Theologi Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah: Refleksi Atas Gagasan Sentral Imam Abu Hasan al-Asy’ari

Mohammad Nor Ichwan. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar istilah ahl al-sunnah wa al-jama’ah, suatu faham yang paling banyak dianut oleh umat Islam, termasuk di Indonesia. Namun demikian, kebanyakan umat Islam tidak tahu persis, kelompok manakah yang dimaksud sebagai ahl al-sunnah tersebut. Hal ini lebih disebabkan oleh banyaknya golongan (firqah)yang berkembang di kalangan umat Islam dan kesemuanya mengklaim sebagai kelompok ahl al-sunnah wa al-jama’ah.

Munculnya berbagai firqah tersebut, bukanlah suatu yang mengherankan dalam sejarah umat Islam. Sebab, Nabi sendiri dalam beberapa hadisnya telah meramalkan bahwa umat Islam nantinya akan terpecah menjadi 73 golongan seperti halnya orang-orang Yahudi dan Nashrani. Nabi saw. bersabda:

Rasulullah saw bersabda: “Orang-orang Yahudi telah terpecah (berfirqah-firqah) menjadi 71 golongan, demikian juga orang-orang Nashrani. Dan Ummatku pun juga akan terpecah menjadi 73 golongan. (HR. Turmudzi dari Abu Hurairah)

Dalam hadis yang lain Rasulullah saw. juga menyatakan hal yang sama, bahwa umat Islam natinya akan terpecah menjadi 73 golongan, dan kesemuanya akan masuk neraka kecuali satu, yaitu golongan yang tetap berpegang (ber-i’tiqad) pada sunnah Nabi dan sahabat-sahabatnya (ma ana ‘alaihi wa ashhabi).[1] Dalam hadis riwayat Thabrani disebutkan bahwa golongan dimaksud adalah ahl al-sunnah wa al-jama’ah.

Bahwasannya Bani Israil telah berfirqah-firqah sebanyak 72 golongan (millah), dan akan berfirqah umatku sebanyak 73 golongan (firqah), semuanya masuk neraka kecuali satu. Para sahabat bertanya: “Siapakah yang satu itu wahai Rasulullah?”. Nabi menjawab: “yang satu itu adalah orang yang berpegang padaku dan sahabat-sahabatku. (HR. Turmudzi)

Demi Tuhan yang memegang jiwa Muhammad di tangan-Nya, akan berfirqah umatku sebanyak 73 golongan, yang satu masuk sorga dan yang 72 masuk neraka. Para sahabat bertanya: “siapakah golongan yang tidak masuk neraka itu wahai Rasulullah?”. Rasulullah menjawab: “Ahl al-sunnah wa al-jama’ah. (HR. Thabrani).[2]

Nampaknya, ramalan Rasulullah saw sebagaimana tertuang dalam hadis tersebut telah menjadi kenyataan. Ini dapat dilihat dari banyaknya golongan (firqah) yang berkembang di kalangan umat Islam. Dalam sejarah perkembangan teologi Islam kita mengenal beberapa faham seperti Syi’ah, Khawarij, Mu’tazilah, Murji’ah. Najariyah, Jabariyah, Musyabbihah, dan sebagainya. Lalu yang menjadi pertanyaan kita sekarang adalah siapakah yang dimaksud kelompok ahl al-sunnah wa al-jama’ah itu?

B.     Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah: Perspektif Etimologis dan Terminologis

Bertolak dari hadis di atas, secara sederhana istilah ahl al-sunnah wa al-jama’ah[3] dapat didefinisikan sebagai penganut sunnah Nabi dan petunjuk sahabat-sahabatnya. Menurut Dr. Jalal Muhammad Musa dalam Nasy’ah al-Asy’ariyah wa Tathawwuriha – sebagaimana dikutip Dr. KH. Noer Iskandar al-Barsyaniy, MA – menjelaskan bahwa istilah ahl al-sunnah wa al-jama’ah mengandung dua makna,  pertama, makna umum (‘am) dan kedua, makna khusus (khash).[4] Untuk makna yang disebutkan pertama, ahl al-sunnah sebagai pembanding Syi’ah, yaitu kelompok Mu’tazilah, yang di dalamnya termasuk kelompok Asy’ariyah. Sedangkan makna yang disebutkan terakhir lebih merujuk kepada kelompok Asy’ariyah, yaitu pengikut madzhab Imam Abu Hasan al-Asy’ari.

 Sementara itu, Abu al-Fadl ibn al-Syaikh abd. Syakur al-Sanuri dalam al-Kawakib al-Lamma’ah fi Tahqiq al-Musamma bi Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kelompok ahl al-sunnah wa al-jama’ah adalah kelompok atau golongan yang senantiasa commited mengikuti sunnah Nabi saw dan thariqah atau petunjuk para sahabatnya dalam hal akidah, amaliah fisik (fiqh) dan akhlak batin (tasawwuf).[5] Berdasarkan definisi ini, maka yang termasuk ahl al-sunnah adalah ulama kalam (mutakallimin), ahli fiqh (fuqaha), ahli hadis (muhaddisin), dan ulama tasawuf (sufiyah).

Dalam tulisan ini yang dimaksud dengan golongan ahl al-sunnah wa al-jama’ah lebih merujuk kepada makna khasnya, yaitu pengikut madzhab Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi. Pengertian ini disamping didasarkan pada ucapan Imam Muhammad bin Muhammad al-Husni al-Zabidi[6] juga didasarkan pada aspek historisitasnya, sebagaimana akan dijelaskan berikut ini.

C. Historisitas Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah

Secara historis, term ahl al-sunnah wa al-jama’ah telah muncul jauh sebelum faham Mu’tazilah ada, bahkan pada masa Nabi Muhammad masih hidup pun istilah ini sudah dikenal, sebagaimana ditunjukkan oleh hadis sebelumnya.[7] Namun, terminologi ini menjadi menonjol setelah lahirnya faham Mu’tazilah[8] pada abad ke 11 H. Artinya bahwa term ini muncul lebih disebabkan sebagai reaksi terhadap faham golongan Mu’tazilah yang rasionalis oleh golongan Asy’ariyah dan Maturidiyah yang bercorak tradisionalis.

Dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam, terdapat berbagai aliran pemikiran kalam. Peristiwa ini diawali oleh pertentangan politik antara Ali bin Abi Thalib di Kufah dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan di Damaskus, yang kemudian berujung pada peristiwa tahkim (arbitrase),[9]  yang menjadi pemicu timbulnya pertentangan-pertentangan teologis di kalangan umat Islam. Peristiwa tahkim ini kemudian memunculkan aliran Khawarij.[10] Menurutnya, tahkim bukanlah cara yang terbaik dalam menyelesaikan sengketa, seperti yang ditetapkan Allah dalam al-Qur’an.[11] Oleh karenanya, orang-orang yang menerima tahkim dianggap sebagai pembuat dosa besar dan karenanya dihukumi sebagai kafir.

Faham kaum Khawarij yang demikian, mendapatkan tanggapan yang serius dari para pemikir Islam, di antaranya adalah kaum Murji’ah, suatu aliran tertua sesudah Khawarij. Menurutnya, bahwa orang mukmin yang berbuat dosa besar tidaklah dihukumi sebagai kafir, tetapi tetap mukmin.[12]

Dari kedua paham yang saling kontradiktif tersebut, maka muncullah aliran Mu’tazilah yang mengambil posisi tengah. Menurutnya, bahwa orang yang melakukan perbuatan dosa besar berada di antara keduanya, bukan kafir dan juga bukan mukmin, tetapi sebagai seorang yang fasiq. Paham ini kemudian dikenal dengan istilah al-manzilah baina al-manzilatain.

Dalam perkembangannya, faham Mu’tazilah yang rasionalis itu,[13] mendapatkan pengaruh yang sangat besar. Ini dapat dilihat dari banyaknya penganut Wasil di daerah Tahart, suatu tempat di dekat Tilimsan di Marokko, mencapai 30 ribu pengikut. Kemudian, pengaruh Mu’tazilah ini, mencapai puncaknya pada zaman Khlaifah-khalifah Bani Abbas al-Ma’mun, al-Mu’tashim dan al-Wasiq (813-847M), bahkan pada masa kekhalifahan al-Ma’mun faham Mu’tazilah dijadikan sebagai madzhab resmi negara.[14] Kerena telah menjadi aliran resmi negara, kaum Mu’tazilah mulai menyiarkan ajaran-ajarannya secara paksa dengan cara mengadakan ujian (mihnah) bagi para pemuka pemerintahan dan masyarakat, terutama faham mereka bahwa al-Qur’an bersifat makhluk dalam arti diciptakan dan bukan bersifat qadim dalam arti kekal dan tidak diciptakan.[15]

Faham Mu’tazili yang bercorak rasional ini, mendapat tantangan yang keras dari golongan tradisional Islam, terutama pengikut aliran hadits dan yurisprudensi (fuqaha) yang sangat keras, seperti pengikut Ahmad Ibn Hanbal. Politik menyiarkan aliran Mu’tazliah secara kekerasan berkurang setelah al-Ma’mun meninggal dunia pada tahun 833 M, dan akhirnya aliran Mu’tazliah sebagai madzhab resmi dari negara dibatalkan oleh Khalifah al-Mutawakkil pada tahun 856 M. Dengan demikian kaum Mu’tazilah kembali kepada kedudukan mereka semula, tetapi kini mereka telah mempunyai lawan yang tidak sedikit di kalngan umat Islam.

Perlawan ini kemudian mengambil bentuk aliran teologi tradisional yang disusun oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari (935 M), yang sebelumnya merupakan salah seorang penganut aliran Mu’tazliah. Selama masih muda, ia menjadi murid al-Jubba’i, seorang Mu’tazili dari Basra yang sangat mashur, tetapi ketika berusia 40 tahun, mungkin karena hasil mimpinya bertemu dengan Rasulullah,[16] ia berbalik melawan ajaran-ajaran Mu’tazilah dan mencoba kembali kepada ajaran-ajaran al-Qur’an secara murni. Ia pergi ke masjid Basra dan kemudian menyatakan:

Siapa yang mengatahui saya, mengetahui siapa saya, dan siapa yang tidak mengetahui saya, kemudian mengatahui bahwa saya adalah Abu al-Hasan ‘Ali al-Asy’ari, yang dahulu mempertahankan bahwa al-Qur’an diciptakan, mata manusia tidak akan dapat melihat Tuhan, dan menyatakan bahwa makhluk menciptakan aktifitas gerak mereka sendiri. Oh! Saya menyesal bahwa saya telah menjadi seorang Mu’tazlili. Saya meninggalkan aliran ini dan saya berjanji untuk menolak aliran Mu’tazilah dan mengekspose pertumbuhan dan kejahatan mereka”.[17]

Menurut keterangan Harun Nasution yang ia kutip dari kitab Dzuhr al-Islam bahwa sebab lain keluarnya al-Asy’ari dari kelompok Mu’tazilah adalah sikap ragu-ragu (syak)[18] dan tidak puas lagi terhadap aliran Mu’tazilah yang selama ini dianutnya. Hal ini diperkuat oleh riwayat yang mengatakan bahwa al-Asy’ari mengasingkan diri di rumah selama lema belas hari untuk memikirkan ajaran-ajaran Mu’tazilah. Setelah itu ia keluar dan pergi ke masjid, naik mimbar seraya mengatakan:

Hadirin sekalian, sya selama ini mengasingkan diri untuk berfikir tentang keterangan-keterangan dan dalil-dalil yang diberikan masing-masing golongan. Dalil-dalil yang diajukan, dalam penelitian saya, sama kuatnya. Oleh karena itu saya meminta petunjuk dari Allah dan atas petunjuk-Nya saya sekarang meninggalkan keyakinan-keyakinan lama dan menganut keyakinan-keyakinan baru yang saya tulis dalam buku-buku ini. Keyakinan-keyakinan lama saya lemparkan sebagaimana saya melemparkan baju ini”.[19]

Selain alasan-alasan yang telah dikemukakan di atas, baik yang dikemukakan oleh para teolog Muslim, dan juga para orientalis tentang keluarnya al-Asy’ari dari aliran Mu’tazilah, belum dapat memberikan jawaban yang memuaskan. Terlepas dari itu semua, yang jelas bahwa dalam lapangan teologi Islam aliran Asy’ariyah dan Maturidi merupakan refleksi dari aliran ahl al-sunnah wa al-jama’ah.[20]

Meskipun yang dimaksud dengan faham ahl al-sunnah wa al-jama’ah itu mencakup Asy’ari dan Maturidi, namun dalam tulisan ini hanya akan dikemukakan pemikiran-pemikiran teologi al-Asy’ari saja.

D. Gagasan Sentral Pemikiran Teologi Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah

Gagasan-gagasan teologi Imam al-Asy’ari – sebagaimana dikatakannya sendiri – dapat dijumpai dalam beberapa karyanya, di antaranya Kitab al-Luma’ fi al-Rad ‘ala ahl al-Ziyagh wa al-Bida’ yang berisi tentang penolakan terhadap penganut penyimpangan teratur dan sistematis dengan memberikan sorotan yang tajam dan bantahan-bantahan terhadap lawan-lawannya dengan argumentasi yang cukup rasional dengan menonjolkan fungsi akal. Kitab lain adalah  al-Ibanah ‘an Ushul al-diyanah yang berisi tentang kepercayaan ahl al-sunnah, di mana al-Asy’ari mencoba melukiskan pada pihaknya yang tradisionalis ekstrim yang melawan pada kebutuhan dialektika dalam masalah-masalah agama. Pada kitab ini peranan naql lebih tinggi daripada akal, karena memang kitab ini membahas tentang pokok-pokok pikiran yang menjadi dasar bagi aliran teologi yang kemudian berkembang menjadi dasar bagi aliran ahl al-sunnah wa al-jama’ah.

Perbedaan kandungan yang terdapat pada keduanya adalah bahwa di dalam al-Ibanah, peranan naql lebih tinggi ketimbang akal, sedangkan dalam al-Luma’ peranan akal lebih tinggi dalam memahami nash-nash. Ini wajar karena al-Asy’ari mencoba menempuh jalan tengan antara dua ekstremitas, yakni para rasionalis Mu’tazili, yang membuat wahyu dibawah penalaran dan para eksternalis yang berbeda pendekatannya, yang menolak peranan nalar dan kembali bersandar pada makna zhahir ayat-ayat al-Qur’an dan hadis secara murni. Tidak mengherankan jika ulama Asy’ariyah seperti al-Juwaini menyakatan bahwa dalam kenyataannya al-Asy’ari tidaklah sungguh-sungguh seorang teolog (mutakallim) tetapi seorang pendamai terhadap dua pandangan ekstrem yang merata di masyarakat pada waktu itu.[21]

Di bawah ini akan dikemukakan beberapa gagasan sentral pemikiran Imam al-Asy’ari tentang persoalan-persoalan teologis yang secara umum sebagai sintesa terhadap pemikiran-pemikiran yang berkembang sebelumnya dan menjadi perdebatan pada waktu itu.

1.    Konsep Iman

Dalam sejarah pemikiran Islam, diskursus tentang iman ini telah menjadi bahan perdebatan yang serius, khususnya di kalangan teolog (mutakallim). Pembicaraannya berkutat di sekitar apakah iman itu hanya tashdiq (pembenaran tentang apa yang didengar) ataukah meningkat sampai kepada ma’rifah (mengetahui benar apa yang diyakini), serta amal (termanifestasi dalam perbuatan).

Menurut Harun Nasution bahwa pembahasan tentang iman ini erat sekali hubungannya dengan akal dan wahyu.[22] Artinya bahwa iman yang didasarkan pada wahyu disebut tashdiq, sedangkan yang didasarkan pada akal disebut ma’rifah. Oleh karenanya, bagi kaum rasionalis yang memberikan daya lebih pada akal,[23] iman bukan hanya sekedar tashdiq, tetapi juga ma’rifah dan â€˜amal. Al-Qadhi Abdul jabbar,[24] salah seorang tokoh Mu’tazilah, menolak pengertian iman yang hanya terbatas pada pengetahuan dengan akal budi (al-ma’rifah bi al-qalb) atau hanya bersifat pengakuan lisan (al-iqrar bi al-lisan), dan juga ia menolak pengertian iman yang hanya berbentuk pembenaran dengan hati (al-tashdiq bi al-qalb). Karena iman baginya bukan sekedar itu, tetapi harus meningkat menjadi â€˜amal (perbuatan), yaitu menjalankan perintah-perintah Allah, baik yang wajib maupun yang sunnat, serta menjahui perbuatan-perbuatan yang tercela. Pendapatnya ini ia dasarkan pada QS. al-Anfal/8: 2.[25]

Sedangkan bagi kaum tradisionalis karena memberikan daya yang kecil pada akal, maka iman hanya sebatas tashdiq. Dengan demikian, yang dinamakan iman menurut al-Asy’ari adalah al-tashdiq bi Allah, yaitu menerima sebagai benar kabar tentang adanya Tuhan. Oleh karenanya, iman tidak bisa merupakan ma’rifah dan â€˜amal.[26] Pendapat al-Asy’ari ini sebenarnya lebih sebagai sintesa dari dua pendapat yang berbeda, yaitu antara kelompok Karamiyah yang memasukkan ‘pengakuan dengan lidah’ (iqrar bi al-lisan) sebagai bagian (juz’) dari iman dan kelompok Khawarij dan Mu’tazilah yang memasukkan unsur perbuatan (‘amal) juga sebagai bagian dari iman. Lebih lanjut ia berpendapat bahwa iqrar bi lisan dan â€˜amal bukan merupakan tashdiq.[27]

Untuk memperkuat argumentasinya itu, Iman al-Asy’ari menukil beberasa nash al-Qur’an, seperti:

Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa qaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. (QS. Ibrahim/14: 4)

Dengan bahasa Arab yang jelas. (QS. al-Syu’ara/26: 195)

Dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada kami, sekalipun kami adalah orang-orang yang benar. (QS. Yusuf/12: 7)

Bebarapa ayat di atas, sebagaimana dipahami al-Asy’ari lebih menunjukkan bahwa informasi tentang agama yang harus diimani itu, disampaikan lewat bahasa kaum tempat rasul itu di utus serta dalam bahasa Arab yang jelas. Oleh sebab itu, iman berarti tashdiq (pembenaran dalam hati) atas apa yang diturunkan oleh Allah swt. Sementara itu, QS. Yusuf/12: 17, oleh al-Asy’ari dipahami sebagai adanya hubungan antara mu’min dan sadiqin. Oleh sebab itu, iman adalah al-tashdiq bi al-qalb (pembenaran dengan hati atas berita yang dibawa oleh Nabi dan Rasul).[28]

2.     Teori al-Kasb (acquisition, perolehan)

Dalam sejarah pemikiran teologi Islam, perbuatan manusia merupakan salah satu isu krusial, karena ia menyangkut persoalan sejauh manakah kehendak manusia berpengaruh terhadap perbuatannya. Menanggapi masalah ini, sedikitnya telah melahirkan dua aliran kalam yang berbeda secara diametral.

Pertama, Qadariyah, yang berpendapat bahwa manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri dalam mewujudkan perbuatannya. Sedangkan Allah sama sekali tidak menentukan perbuatan tersebut sebelumnya.[29] Aliran Qadariyah ini pertama kali diserukan oleh Ma’bad al-Juhany (w. 80 H) yang lahir di Bashrah, kemudian mengembara ke berbagai kota seperti Damaskus dan Madinah. Ia pernah berguru kepada Hasan Al-Bashri dan tokoh Qadariyah yang lain yaitu Ghilan al-Dimasyqy, (w. 105 H) teman dari Ma’bad al-Juhani.[30] Paham Qadariyah ini sepaham dengan pandangan Mu’tazilah.

Kedua, Jabariyah[31] yang berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kemampuan sama sekali untuk menentukan perbuatan dan tidak dapat mewujudkan kemauan-Nya.[32] Istilah untuk kedua term di atas dikenal dengan sebutan free will dan predestination, yakni paham kebebasan manusia dan fatalisme.

Dalam hal ini, pendapat al-Asy’ariy tentang perbuatan manusia lebih dekat kepada faham Jabariyah daripada faham Mu’tazilah. Ini karena al-Asy’ari memandang lemah manusia, dan karenanya banyak tergantung pada kehendak dan kekuasaan Tuhan. Untuk menggambarkan hubungan perbuatan manusia dengan kemauan dan kekuasaan mutlak Tuhan, al-Asy’ari memakai istilah al-kasb (acquisition, perolehan). Menurutnya, bahwa perbuatan manusia itu diciptakan oleh Tuhan.

Pendapatnya ini, didasarkan pada QS. al-Saffat/37: 96: “Wa Allah Khalaqakum wa ma ta’malun”.[33] Lafazh ‘wa ma ta’malun’ pada ayat tersebut diartikan sebagai “apa yang kamu nperbuat”, bukan “apa yang kamu buat”. Ini artinya bahwa Allah menciptakan kamu dan perbuatan-perbuatan kamu. Dengan demikian, menurut faham al-Asy’ari bahwa perbuatan-perbuatan manusia itu diciptakan oleh Tuhan. Atau dengan kata lain, bahwa yang mewujudkan kasb atau perbuatan manusia adalah Tuhan sendiri.[34]

Berdasarkan pandangan al-Asy’ari di atas, tampaknya manusia tidak memiliki pilihan di dalam perbuatannya, karena semua yang dilakukan manusia berdasarkan ketentuan Tuhan. Pandangan yang demikian, mendapatkan banyak kritik, terutama oleh kaum Mu’tazilah yang mengatakan jika Tuhan menciptakan perbuatan manusia, maka perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan baginya. Oleh karena itu batallah taklif, janji dan ancaman Allah.[35] Dan bagaimana Tuhan akan menghisab hamba-hamba-Nya di akhirat atau akan memberi pahala dan siksa, jika manusia tidak memiliki andil dalam menciptakan perbuatannya. Demikian pula Allah menjadi sia-sia dengan pengutusan rasul-Nya karena manusia tidak bebas untuk mengikuti petunjuk-Nya.[36] Di sisi lain, di dalam perbuatan manusia ada kekafiran dan kebohongan dan kezaliman. Maka jika Tuhan yang menciptakan perbuatan manusia, maka perbuatan tersebut adalah perbuatan Tuhan karena perbuatan itu disandarkan kepada Tuhan. Padahal Tuhan Maha Suci dari perbuatan-perbuatan nista dan zalim seperti itu.[37]

Kritikan senada juga datang dari Ibnu Taimiyah, menurutnya bahwa al-Asy’ariy telah gagal dengan konsep kasbnya yang hendak menengahi antara Qadariyah dengan Jabariyah, sebab menurut Ibnu Taimiyah, kasbnya al-Asy’ariy itu telah membawa para pengikutnya berfaham Jabariyah murni, yang mengingkari sama sekali adanya kemampuan pada manusia untuk berbuat.[38]

Penilain senada juga datang dari Yusuf Musa.[39] Demikian juga Ibn Rusyd memperkuat penilaian tersebut dengan menganggapnya sebagai jabariyah murni.[40] Agaknya itulah sebabnya mengapa para pengembang ajaran al-Asy’ariy yang kemudian, al-Juwaini dan al-Baqilani misalnya, berusaha memahami kembali teori kasb yang diciptakan al-Asy’ariy dan kemudian memunculkan teori yang lebih rasional dari pada yang dikemukakan oleh al-Asy’ariy.[41]

3.    Hakikat al-Qur’an

Sebagaimana telah disinggung pada pembahasan terdahulu, bahwa pembicaraan tentang al-Qur’an dalam teologi Islam berkisar pada masalah apakah al-Qur’an itu qadim, ataukah hadits (baharu)?. Diskursus tentang masalah ini pada zaman pemerintahan al-Ma’mun – karena mengakui faham Mu’tazilah yang menganggap bahwa al-Qur’an itu hadits sebagai faham resmi negara – telah menimbulkan mihnah (ujian keimanan) di kalangan umat Islam.

Al-Qur’an adalah kalam Allah. Dimana kalam Allah ini sangat berbeda dengan kalam manusia. Di dalam kalam manusia (kalam al-insan) terkandung dua makna, (1) al-makna al-masdari, yaitu takallum (keadaan berbicara);  dan  (2)  al-makna  al-hasil  bi  al-masdari, yaitu al-mutakallim bihi (apa yang dibicarakan). Kedua makna kalam tersebut bisa berupa kalam lafdzi dan bisa berupa kalam nafsi. Oleh karena itu, kalam manusia memiliki beberapa aspek, yaitu (a) kalam lafdzi bi al-ma’na al-masdariy, yaitu bergeraknya lidah dan mulut manusia ketika berbicara, (b) kalam lafdzi bi al-ma’na al-hasil bi al-masdar, yaitu kata-kata atau kalimat yang diucapkan oleh pembicara, (c) kalam nafsi bi al-ma’na al-masdariy, yaitu upaya melahirkan konsep-konsep pembicaraan yang ada dalam pikiran pembicara, dan (d) kalam nafsi bi al-ma’na al-hasil bi al-masdar, yaitu kata-kata atau kalimat yang lahir dari konsep pembicara sebelum diucapkan.[42]

Kaitannya dengan wahyu al-Qur’an sebagai kalam Allah, bisa diartikan sebagai kalam lafdzi[43] dan juga bisa diartikan sebagai kalam nafsi.[44]  Sehubungan  dengan  hakikat al-Qur’an, Imam Shihabuddin al-Qasthalani menyatakan :

القرأن هو كلام الله تعالى القائم بذاته غير مخلوق ولا حال فى المصاحف ولا فى القلوب والألسنة والأذان بل معن قديم قائم بذات الله تعالى مكتوب فى مصاحفنا بنقوش وصور واشكال موصوعة للحروف الدالة عليه

Al-Qur’an adalah Kalam Allah SWT yang ada dalam dzat-Nya, bukan makhluk dan tidak memerlukan tempat baik dalam mushaf, kalbu, lidah maupun telinga. Ia merupakan makna yang qadim yang berada dalam dzat Allah SWT., ditulis dalam mushaf dengan warna, rupa dan bentuk dalam wujud huruf-huruf yang menunjukkan kalam tersebut”.[45]

Lebih lanjut al-Qusthalani mengatakan berkaitan dengan â€œadanya sesuatu” bahwa :

إن للشئ وجودا فى الأعيان ووجودا فى الأذهان ووجودا فى العبارة ووجودا فى الكتابة فالكتابة تدل على العبارة وهي على ما فى الأذهان وهو على ما فى الأعيان

Adanya sesuatu bisa berarti: ada dalam wujud apa adanya, ada dalam pikiran, ada dalam bentuk ungkapan, dan ada dalam bentuk tulisan. Wujud dalam bentuk tulisan menunjukkan adanya wujud ungkapan; wujud ungkapan menunjukkan apa yang ada dalam pikiran; dan wujud dalam pikiran menunjukkan apa yang ada dalam wujud apa adanya (hakikat).[46]

Dari ungkapan di atas dapat dipahami bahwa al-Qur’an pada hakikatnya adalah kalam Allah yang azali sehingga bersifat qadim. Pendapat senada juga dianut oleh  ulama sunni, termasuk empat Imam madzhab[47] sependapat mengatakan al-Qur’an adalah kalam Allah yang azali, bukan makhluk, dan dengan sendirinya qadim. Jumhur ulama berpendapat bahwa al-Qur’an adalah kalam Allah yang ada bersama Zat-Nya, berada di luar alam nyata, bukan makhluk, dan tidak memerlukan tempat. Bentuk lafal dalam mushaf adalah simbol akan keberadaan sifat kalam Allah, dan sifat kalam itu adalah qadim sebagaimana qadimnya Allah. Jika dikatakan al-Qur’an adalah baru, yang dimaksud adalah lafal-lafal yang dicetak dalam mushaf, yang diucapkan, didengar, dan yang demikian itu tidak qadim. Mengenai hal ini Abu Hasan al-Asy’ari mengatakan :

Al-Qur’an adalah kalam Allah yang berada dalam dzat-Nya; jika diungkapkan (diturunkan) dengan bahasa Arab, waka wujudnya adalah al-Qur’an; jika diungkapkan (diturunkan) dalam bahasa Ibrani, maka wujudnya adalah Tawrat; dan jika diungkapkan (diturunkan) dalam bahasa Suryani, maka wujudnya adalah Injil”.[48]

Senada dengan pendapat di atas Dr. Ahmad al-Syirbashi, yang mengatakan sebagai berikut:

Kalimat-kalimat al-Qur’an yang kita baca dalam mushaf dan senantiasa kita ulang-ulang membacanya dengan lidah kita, adalah bentuk lafadz yang menunjukkan atas adanya sifat kalam bagi Allah SWT. Sifat kalam Allah adalah qadim sebagaimana qadimnya Allah SWT. Kalam Allah tidaklah berupa lafadz atau pun huruf seperti yang kita kenal. Apabila al-Qur’an diartikan sebagai kalam Allah seperti ini, maka tidak bisa dikatakan bahwa al-Qur’an itu makhluk, karena kalau al-Qur’an itu makhluk berarti ia bersifat hadis (baru); apabila al-Qur’an sebagai kalam Allah itu bersifat hadis (baru) maka hal ini berlawanan dengan kalam-Nya Allah yang bersifat qadim. Adapun lembaran-lembaran al-Qur’an dalam mushaf berupa kalimat-kalimat  yang ditulis atau dicetak didalamnya, semua itu adalah makhluk dan bersifat baru, tidak bersifat qadim”.[49]

Sedangkan  menurut golongan mu’tazilah, berpendapat  bahwa  hakikat  al-Qur’an adalah huruf-huruf dan suara yang diciptakan Allah SWT yang setelah berwujud lalu hilang dan lenyap. Dengan demikian, maka kaum mu’tazilah memandang al-Qur’an sebagai makhluk (ciptaan) Allah SWT. Oleh karena itu al-Qur’an bersifat baru, dan tidak qadim.[50] Mereka berargumentasi bahwa kalau kalam itu qadim berarti  ada  sesuatu  yang  qadim  selain  Allah  (ta’addud al-qudama’), dan hal ini berarti menduakan Allah. Sedangkan menduakan Allah adalah syirk, dan perbuatan syirik termasuk dosa besar dan tak dapat diampuni.[51]

Pendapat Mu’tazilah di atas dibantah oleh al-Asy’ari dengan mengatakan bahwa jika al-Qur’an diciptakan (makhluk), hal ini tidak sesuai dengan Q.S. al-Nahl/16: 40 :

إِنَّمَا قَوْلُنَا لِشَيْءٍ إِذَا أَرَدْنَاهُ أَنْ نَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ ( النحل/16: 40)

Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, maka Kami hanya mengatakan kepada; Kun (jadilah) maka jadilah ia” (Q.S. al-Nahl/16; 40).

Menurutnya – berdasarkan ayat di atas – untuk sebuah penciptaan perlu kata kun (jadilah), dan untuk terciptanya kun perlu kata kun yang lain, dan seterusnya. Karena itu al-Qur’an tidak bisa dikatakan sebagai makhluk.[52]

E. Penutup

Dari serangkaian pemaparan yang telah disajikan di muka, maka dapat ditarik butir-butir kesimpulan sebagai berikut:

Pertama, aliran ahl al-Sunnah wa al-jama’ah atau yang biasa disebut sebagai faham sunni, yang merupakan  faham yang paling banyak di anut oleh umat Islam, termasuk di Indonesia muncul lebih sebagai reaksi dari faham-faham sebelumnya, khususnya adalah faham Mu’tazilah. Faham ahl al-Sunnah ini pada perkembangan selanjutnya lebih diidentikkan dengan faham Asy’ariyah dan Maturidiyah.

Kedua, ajaran-ajaran Sunni, atau faham teologi yang dikembangkan oleh Imam al-Asy’ari lebih sebagai sintesa terhadap  dua ekstrimis yang saling bertentangan, baik dari kelompok Mu’tazilah yang rasionalis maupun kelompok eksternalis yang berlawan dengannya. Demikian juga, sebagai sintesa terhadap faham Qadariyah dan Jabariyah. Artinya, secara umum dapat dikatakan bahwa al-Asy’ari mencoba menciptakan suatu posisi moderat dalam hampir semua isu teologis yang menjadi perdebatan pada waktu itu.

DAFTAR PUSTAKA

‘Abd al-Jabbar, Mutasyabih al-Qur’an, (ed) Adnan Muhammad Zarzawar, Kairo: Dar al-Turas, 1969

Abu al-Hasan Ibn Isma’il al-Asy’ari, Kitab al-Luma’ fi al-Radd ‘ala al-Zaigh wa al-Bida’, Kairo: Syarikah Musahamah al-Mishriyah, 1955

Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah, Kairo: Dar al-Fikr, t.th.

Ahmad Mahmud Subhi, Al-falsafah al-Akhlaqiyah fi Fikr al-Islami, Kairo: Dar al-Ma’arif, 1969

Al-Sahrastani, al-Milal wa al-Nihal, Beirut: Dar al-Fikr, 1967

Dr. Hasan Zaini, MA, Tafsir Tematik Ayat-Ayat Kalam; Tafsir al-Maraghi, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya,  1997

Dr. KH. Noer Iskandar al-Barsyaniy, MA, Aktualisasi Ahlussunah Waljamaah, Purwokerto: Program Pascasarjana UNISMA- Pondok Pesantren al-Hidayah, 1999

Drs. H. Ibrahim Lubis, Agama Islam Suatu Pengantar, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984

Ensiklopedi Islam, Jilid 4, PT. Ichtiar Baru Van Houve, Jakarta, 1994

Hamudah Ghurabah, Abu al-Hasan al-Asy’ari, Kairo: Matnu’at Majma’ al-Buhus al-Islamiyah, 1993 H/1973 M

Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-aliran, Sejarah, Analisa perbandingan, Jakarta: UI Press, 1986

Hasanuddin AF, Perbedaan Qira’at dan pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum Dalam al-Qur’an, Jakarta: Rajawali Press, 1995

Ibrahim Mazkur, Fi Falsafat al-Islamiyyah Manhaj wa Tathbiqah, Juz. II., Mesir: Dar al- Ma’arif, tth.

 Jalal Musa, Nasyat al-Asy’ariyyat wa Tathawwuruha, Beirut: Dar al-Kitab al-Lubnan, 1975

KH. Sirajuddin Abbas, I’tiqad Ahlussunnah Wal-jama’ah, Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1977

M. Yusuf Musa, Al-Qur’an wa al-Falsafah, Kairo: Dar al-Ma’arif, 1966

Muhammad Abd al-Azhim al-Zarqani, manahil al-Urfan fi ‘Ulum al-Qur’an, Jilid I, Beirut: Dar al-Fikr, t.th.

Mukhtar Rasyidi, Doktrin Ahlussunnah Wal Jama’ah, Yogyakarta: Yayasan Kesejahteraan Mahasiswa, t.th.

Seyyed Hossein Nasr, Intelektual Islam: Teologi, Filsafat, dan Gnosis, terj.Suharsono daan Djamaluddin MZ, Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1996

Yusuf Musa, Falsafat al-Akhlak al-Islam, Kairo: Muassasah al-Khanji, 1963

Zuhdi Jar Allah, Al-Mu’tazilat, Beirut: Al-Ahliyah li al-Nashr wa al-Tauzi’, 1874


[1]Menurut Sayyid Abdurrahman bin Muhammad bi Husain bin Umar dalam Kitab Bugyatul Mustarsyidinbahwa 72 golongan yang sesat dan akan masuk neraka itu bermuara pada tujuh golongan, yaitu Syi’ah, Khawarij, Mu’tazilah, Murji’ah. Najariyah, Jabariyah, Musyabbihah. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa Syi’ah terpecah menjadi 22 aliran; Khawarij terpecah menjadi 20 aliran; Mu’tazilah terpecah menjadi 20 aliran; Murji’ah terpecah menjadi 5 aliran; Najariyah terpecah menjadi 3 aliran; Jabariyah dan Musyabbihah masing-masing 1 aliran. Sehingga kesemuanya berjumlah 72 aliran. (Dikutip dari KH. Sirajuddin Abbas, I’tiqad Ahlussunnah Wal-jama’ah (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1977), h. 23-24[2]Teks hadis yang senada – iftiraq al-ummah â€“  sanadnya sangat banyak sekali. Sehingga, dikalangan para ulama terdapat perbedaan pendapat tentang sahnya hadis-hadis tersebut. Sebagian ulama, seperti Abu Muhammad bin Hazm pengarang al-Fashl fi al-Milal wa al-Nihal menilainya sebagai hadis-hadis yang tidak dapat dijadikan sebagai dalil. Namun sebagian besar ulama menerima hadis iftiraq ini, sebab diriwayatkan oleh banyak sahabat seperti Anas bin Malik, Abu Hurairah, Abu Darda’, Jabir, Abu Said al-Khudriy, dan sebagainya. (Lihat Dr. KH. Noer Iskandar al-Barsyaniy, MA, (selanjutnya disebut Noer Iskandar), Aktualisasi Ahlussunah Waljamaah (Purwokerto: Program Pascasarjana UNISMA- Pondok Pesantren al-Hidayah, 1999), h. 5[3]Dalam bahasa Arab lafazh ahlun memiliki beberapa arti, di antaranya (1) keluarga, seperti QS. Hud/11: 45: â€œSesungguhnya anakku termasuk keluargaku..”; (2) penduduk, seperti QS. al-A’raf/7: 96: â€œJika sekiranya penduduk-penduduk negeri itu beriman..”; (3) orang yang berilmu, seperti QS. al-Nahl: 43: â€œbertanyalah kamu sekalian orang yang memiliki pengetahuan…”; (4) penganut atau pendukung; seperti ungkapan ahl al-kitab berarti mereka yang mendukung kitab Suci. Makna yang disebutkan terakhir lebih sesuai dengan istilah dimaksud. Sedangkan lafazh sunnah dalam hal ini sebagaimana dipahami oleh umat islam pada umumnya, yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrirnya. Sementara itu, yang dimaksud dengan lafazh jama’ah adalah kelompok mayoritas dalam golongan Islam (jumhur al-muslimin).[4]Lihat Noer Iskandar, op. cit., h. 1[5]Ibid.[6]Imam al-Zabidi dalam kitab Itihaf Sadat al-Muttaqin syarah Ihya ‘Ulumuddin karya al-Ghazali mengatakan bahwa “apabila disebut kaum ahlussunnah wal jama’ah, maka maksudnya ialah orang-orang yang mengikuti rumusan (faham) Asy’ari dan faham Abu Mansur al-Maturidi” (Idza Uthliqa ahl al-sunnah fa al-muradu bihi al-Asya’iratu wa al-Maturidiyatu). (Dikutip dari Sirajjuddin Abbas,  op. cit., h. 17). Dalam persepektif teologis, sekalipun yang dimaksud golongan ahl al-sunnah wa al-jama’ah mencakup faham al-Maturidi, namun dalam tulisan ini secara khusus hanya dibatasi pada pemikiran Imam al-Asy’ari saja.[7]Lihat juga literatur yang saling melengkapi, seperti Mukhtar Rasyidi, Doktrin Ahlussunnah Wal Jama’ah (Yogyakarta: Yayasan Kesejahteraan Mahasiswa, t.th.), h. 2[8]Kaum mu’tazilah adalah pengikut Washil bin Atha’, yang memisahkan diri dari pengajian gurunya Hasan al-Basri di masjid Basrah. Karena tindakannya ini, maka Hasan al-Basri mengatakan “I’tazala anna Wasil” (Wasil menjauhkan diri dari kita). Karenanya, ia serta teman-temannya disebut sebagai kaum mu’tazilah. Golongan mu’tazilah merupakan golongan yang mengutamakan akal dan pikiran. Perbedaanya yang sangat besar antara golongan mu’tazilah dengan golongan ahli sunnah dalam soal ketuhanan adalah ahli sunnah mendahulukan naqli (al-Qur’an dan hadis) daripada aqli, sedangkan mu’tazilah sebaliknya, yaitu lebih mementingkan dalil-dalil aqli daripada dalil naqli. Golongan ini banyak dipengaruhi oleh filsafat-filsafat Yunani yang berdasarkan rasio semata-mata[9]Tahkim yang semula dimaksudkan untuk menyelesaikan sengeketa antara Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyyah bin Abi Sufyan, ternyata berjalan tidak adil. Amr bin Ash (juru damai, hakam) yang ditunjuk oleh Muawiyyah bin Abi Sufyan dengan licik mengalahkan Abu Musa al-Asy’ari, juru damai (hakam) dari pihak Ali bin Abi Thalib. Sebelumnya, kedua juru damai tersebut sepakat untuk menjatuhkan kedua pemuka yang saling bertentangan, Ali dan Mu’awiyyah sebagai khalifah. Ketika, Abu Musa al-Asy’ari menyatakan di muka umum putusan menjatuhkan keduanya, ternyata Amr bi Ash justru mengukuhkan Mu’awiyyah. (Lihat Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-aliran, Sejarah, Analisa perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), h. 5)[10]Kaum Khawarij merupakan pengikut-pengikut Ali bin Abi Thalib yang meninggalkan barisannya, disebabkan oleh penerimaan Ali terhadap arbritase (tahkim), sebagai cara penyelesaian persengketaan antara pihak Ali dan Mu’awiyyah. Menurutnya, bahwa tahkim tidak dapat diputuskan oleh manusia, tetapi hanya oleh Allah SWT, dengan cara kembali kepada hukum-hukum yang ada dalam al-Qur’an. Sehingga muncul slogan “La hukma illa lillah” (tidak ada hukum selain dari hukum Allah), atau “ La hakama illa Allah’ (tidak ada juru damai selain dari Allah).[11]Lihat QS. al-Maidah/5: 44: “Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”.[12]Faham kaum Murji’ah bertentangan dengan kaum Khawarij, terutama dalah hal hukum seorang mukmin yang melakukan dosa besar. Menurut Murji’ah bahwa orang mukmin pembuat dosa besar tidak menjadi kafir, akan tetapi tetap mukmin. Oleh sebab itu dosa yang dilakukan oleh seorang mukmin haruslah ditunda (irja’) pembicaraannya, atau mengharap (irja’) akan mendapat ampuan dari Allah di akhirat. (Lihat al-Sahrastani, al-Milal wa al-Nihal (Beirut: Dar al-Fikr, 1967), Jilid. I, h. 139)[13]Paham rasionalis Mu’tazilah di antarnya dipengaruhi oleh pemakaian rasio atau akal yang mempunyai kedudukan tinggi dalam kebudayaan Yunani klasik, yaitu dengan cara menterjemahkan buku-buku filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani ke dalam bahasa Arab. Pemakaian rasio ini kemudian dibawa dalam bidang teologi Islam, dan karenanya teologi mereka mengambil corak teologi liberal. (Lihat harus Nasution, op. cit., h. 8)[14]Lihat Harusn Nasution, op. cit., h. 61[15]Pada masa pemerintahan al-Ma’mun, orang yang mengakui bahwa al-Qur’an itu qadim dianggap sebagai syirk, dan syirk adalah dosa yang terbesar, dan karenanya ia tidak dapat diampuni oleh Tuhan. Di sisi lain, orang yang berpendapat demikian, tidak boleh menduduki jabatan penting dalam pemerintahan. Oleh karena itu, al-Ma’mun kemudian menginstruksikan kepada semua gubernurnya untuk mengadakan ujian kepada pemukan pemerintahan dan masyarakat mengenai al-Qur’an. Dari sinilah kemudian timbul dalam sejarah Islam apa yang dikenal dengan mihnah atau inquisition. Di antara yang mendapatkan ujian itu adalah Ahmad Ibn Hanbal. (Keterangan menganai masalah ini dapat dilihat dalam Harus Nasution, op. cit., h. 62-63)[16]Aliran Asy’ariyah didirikan oleh Imam Abu al-Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari (873-935 M). Pada awalnya ia adalah murid al-Jubai (235-307 H), seorang tokoh Mu’tazilah. Bahkan, karena kepercayaannya terhadap al-Asy’ari, al-Jubba’i sering mempercayakan perdebatan kepadanya. Namun akhirnya ia keluar meninggalkan ajaran mu’tazilah. Ada beberapa riwayat yang menyebabkan keluarnya al-Asy’ari dari Mu’tazilah, di antaranya karena masalah politik, harta dan pangkat, atau karena al-Asy’ari dapat mengalahkan gurunya dalam berdebat, namun yang biasa disebut adalah karena al-Asy’ari pernah bermimpi, yang dalam mimpi itu Nabi Muhammad SAW pernah mengatakan kepadanya bahwa madzhab ahli hadislah yang benar, dan madzhab mu’tazilah salah. (Lihat keterangan lebih lanjut pada Harun Nasution, op. cit., h. 65-66)[17]Seyyed Hossein Nasr, Intelektual Islam: Teologi, Filsafat, dan Gnosis, terj.Suharsono daan Djamaluddin MZ (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1996), h. 11[18]Ada beberapa pendapat yang berkembang dikalangan teolog Muslim tentang makna syak(keragu-raguan) al-Asy’ari sehingga ia meninggalkan aliran Mu’tazilah. Menurut Ahmad Mahmud Subhi bahwa syak itu timbul karena al-Asy’ari menganut madzhab Syafi’i, yang memiliki pemikiran teologi yang berbeda dengan Mu’tazili, seperti al-Qur’an itu tidak diciptakan, tetapi bersifat qadim dan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat kelak. Sedangkan menurut Hammudah Ghurabah bahwa ajaran-ajaran yang diperoleh al-Asy’ari dari al-Juba’i menimbulkan persoalan-persoalan yang tak mendapat penyelesaian yang memuaskan, seperti soal mukmin, kafir, dan sebagainya. (Lihat keterangan lebih lanjut pada Harun Nasution, op. cit., h. 67[19]Ibid., h. 67[20]Untuk menentukan golongan ini bisa ditempuh melalui tiga cara, yaitu pertama, Ahli Asar, yaitu golongan yang dilahirkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal. Golongan ini dalam membahas ketuhanan hanya berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an dan hadis shahih, serta tidak mengesampingkan akal pikiran; kedua, Asy’ariyah, yaitu pengikut Imam Abdul Hasan Asy’ari. Golongan ini membahas ketuhanan lebih banyak memakai dalil-dalil yang lahir daripada kekuatan akal dan mengujinya dengan dalil-dalil al-Qur’an dan hadis; dan ketiga, Maturidiyah, yaitu pengikut Imam Abdul Mansur al-Maturidiyah. Golongan ini hampir sama dengan golongan al-Asy’ariyah. (Drs. H. Ibrahim Lubis, Agama Islam Suatu Pengantar (jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), h. 163-164)[21]Lihat Sayyed Hossein Nasr, op. cit., h. 12[22]Lihat Harun Nasution, op. cit., h. 147[23]Dikalangan teolog Islam terjadi perbedaan pendapat dalam hal kemampuan akal untuk mengetahui hal-hal, seperti pertama, mengetahui Tuhan, kedua, kewajiban mengetahui Tuhan, ketiga, mengetahui baik dan buruk, serta keempat, kewajiban berbuat baik dan menjahui perbuatan jahat. Bagi kaum Mu’tazilah, yang merupakan pemikir kalam rasional, berpendapat bahwa akal dapat mengetahui semua masalah tersebut. Sedangkan menurut aliran Asy’ariyah, bahwa akal hanya dapat mengetahui satu dari keempat masalah itu, yaitu mengetahui Tuhan, sementara ketiga masalahaa lainnya hanya dapat diketahui melalui perantaraan wahyu. Sementara itu aliran Maturidiyah Samarkhan berpendapat bahwa akal mampu mengetahui ketiga masalah tersebut, sedangkan kewajiban berbuat baik dan menjahui perbuatan jahat tidak dapat dijangakau oleh akal. Lain halnya dengan aliran Maturidiyah Bukhara, dimana ia berpendapat bahwa akal hanya mampu mengetahui dua dari keempat masalah tersebut, yaitu adanya Tuhan dan kebaikan  serta kejahatan. (Lihat Dr. Hasan Zaini, MA, Tafsir Tematik Ayat-Ayat Kalam; Tafsir al-Maraghi, Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta, 1997, h. 37-38).[24]Lihat Harun Nasution, op. cit., h. 147[25]Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut (nama) Allah gemetar hatinya, dan apabila dibacakan kepada merekaayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal”. Berdasarkan ayat ini Abd al-Jabbar berpendapat bahwa (1) iman tidak hanya sekedar pengakuan lisan atau keyakinan dalam hati, tetapi merupakan pelaksanaan kewajiban dan ketaatan. Mengingat bahwa Allah swt menyebutkan sifat-sifat orang mukmin, di antaranya ada yang berkairan dengan sikap jiwa dan ada yang berbentuk pengalaman jasmani. Karena itu iman mencakup setiap bentuk ketaatan dan kewajiban; (2) iman dapat bertambah dan berkurang, terbukti dengan beragamnya tingkat pengalaman dan keta’atan manusia. Lain halnya kalau iman hanya diartikan sebagai pengakuan lisan atau keyakinan dalam hati, tentu sifatnya tetap tidak mengalami perubahan. (Lihat selengkapnya pada ‘Abd al-Jabbar, Mutasyabih al-Qur’an, (ed) Adnan Muhammad Zarzawar (Kairo: Dar al-Turas, 1969), h. 312-314)[26]Ibid.[27]Lihat Hamudah Ghurabah, Abu al-Hasan al-Asy’ari (Kairo: Matnu’at Majma’ al-Buhus al-Islamiyah, 1993 H/1973 M), h. 175-176[28]Lihat Abu al-Hasan Ibn Isma’il al-Asy’ari, Kitab al-Luma’ fi al-Radd ‘ala al-Zaigh wa al-Bida’ (Kairo: Syarikah Musahamah al-Mishriyah, 1955), h. 123[29]M. Yusuf Musa, Al-Qur’an wa al-Falsafah (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1966), h. 102[30]Zurkani Yahya, Teologi al-Ghazali, Pendekatan Metodologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 26-27[31]Term Jabariyah berasal dari kata jabara, yang mengandung pengertian memaksa. Memang dalam aliran ini terdapat paham bahwa manusia dalam mengerjakan perbuatannya dalam  keadaan terpaksa (majbur). Manusia tidak memiliki daya, keinginan dan usaha. Paham ini dicetuskan oleh Ja’ad bin Dirham dan Jahm ibn Sofwan (w. 311). Lihat Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah (Kairo: Dar al-Fikr, t.th.), h. 115[32]Ahmad Mahmud Subhi, Al-falsafah al-Akhlaqiyah fi Fikr al-Islami (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1969), h. 156[33]Ayat yang senada dalam QS. al-Insan/76: 30: “Dan kamu tidak menghendaki, kecuali bila dikehendaki Allah”.[34]Lihat Harun Nasution, op. cit., h. 107[35]Zuhdi Jar Allah, Al-Mu’tazilat (Beirut: Al-Ahliyah li al-Nashr wa al-Tauzi’, 1874), h. 96[36]Ibid.[37]Ibid.[38]Ibn Taimiyyah, Minhaj al-Sunnah …,op. cit., h. 16-17[39]Yusuf Musa, Falsafat al-Akhlak al-Islam (Kairo: Muassasah al-Khanji, 1963), h. 46[40]Ibrahim Mazkur, Fi Falsafat al-Islamiyyah Manhaj wa Tathbiqah, Juz. II., (Mesir: Dar al-Ma’arif, tth.),h. 104[41]Jalal Musa, Nasyat al-Asy’ariyyat wa Tathawwuruha (Beirut: Dar al-Kitab al-Lubnan, 1975), h. 338-406[42]Lihat lebih lanjut al-Zarqani, op. cit., h. 15-17; teks Arabnya sebagai berikut:إن اللإنسان له كلام, قد يراد به المعنى المصدرى اى التكتم, وقد يراد به المعنى الحاصل بالمصدرى اى المتكلم به, وكل من هذين المعنيين لفظى ونفسى, فالكلام البشرى اللفظى بالمعنى المصدرى هو تخريك الإنسان لسانه وما يساعده فى اخراج الخروف من المخارج, والكلام اللفظى بالمعنى الحاصل بالمصدرى هو تلك الكلمات المنطوقة التي هي كيفية فى الصوت الحسى, وكلا هذين ظاهر لا يحتاج الى توضيح, اماالكلام النفسى بالمعنى المصدرى فهو تخضير الإنسان فى نفسه بقوة المتكلمة الباطنة للكلمات التي لم تبرز الى الجواريح فيتكلم بكلمات متخيلة يرتبها فى الذهن بحيث اذا تلفظ بها بصوت حسي كانت طبق كلماته اللفظية. والكلام النفسي بالمعني الحاصل بالمصدري هو تلك الكلمات النفسية واللألفاظ الذهنية المترتبة ترتبا ذهنيا منطبقا عليه الترتب الخارجى[43]Pendapat ini kebanyakan dianut oleh ulama ahli ushul dan fuqaha. Karena tujuannya adalah untuk menggali dan mengeluarkan (istinbath) hukum daripadanya, dan hal ini tidak bisa lain kecuali bila berkaitan dengan kalam Allah yang bersifat lafdzi.[44]Para ulama mutakallimin cenderung mengartikan kalam Allah sebagai kalam nafsi, hal ini disebabkan karena kajian mereka disatu sisi menyangkut sifat-sifat Allah, sedangkan disisi lain menyangkut keyakinan mereka yang menyatakan bahwa al-Qur’an adalah kalam Allah yang bersifat qadim dan bukan makhluk.[45]Dikutip dari Hasanuddin AF, Perbedaan Qira’at dan pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum Dalam al-Qur’an (Jakarta: Rajawali Press, 1995), h. 22[46]Ibid., h. 23[47]Dalam lapangan hukum fiqh dikenal beberapa madzhab, namun yang terbesar hanya empat madhab dan banyak pengikutnya, yaitu pertama, Madzhab Hanafi, yaitu pengikut Nu’man bin Tsabit yang bergelar Abu Hanifah  (w. 767 M).  Dasar-dasar  yang  dipakai  madzhab  ini  adalah al-Qur’an, Sunnah Rasul, Ijma’, Qiyas, Istihsan, dan Adat dan cara yang berlaku dalam masyarakat Islam; kedua, Madzhab Syafi’i, yaitu pengikut Muhammad Ibn  Idris  Asy-Syafi’i  (w. 820 M).  Dasar-dasar  yang  dipakai  adalah al-Qur’an, Sunnah Rasul, Ijma’, Qiyas, Istihsan; ketiga, Madzhab Hanbali, yaitu pengikut Ahmad bin Muhammad bin Hanbal (w. 855 M). Dasar-dasar yang dipakai adalah al-Qur’an, Sunnah Rasul, Ijma’, Qiyas, Fatwa sahabat; dan keempat, Madzhab Maliki, yaitu penganut Malik bin Anas bin Malik. Dasar-dasar  yang  dipakai  adalah  al-Qur’an,  Sunnah  Rasul,  Qiyas, Ijma’, dan al-Mashalikhul Mursalah.[48]Dikutip dari Hasanuddin AF, op. cit., h. 25[49]Ibid., h. 25[50]Lihat Ensiklopedi Islam, Jilid 4, PT. Ichtiar Baru Van Houve, Jakarta, 1994, h. 132. Pandangan ini erat hubungannya dengan paham Mu’tazilah yang menafikan sifat-sifat Tuhan, seperti al-qudrat, al-iradat, al-sam, al-bashar, al-kalam, dan lain-lain. Menurutnya sifat-sifat tersebut adalah nama-nama Tuhan, bukan sifat-sifat-Nya. (lihat, Hasanuddin AF, op. cit.,h. 26)[51]Ibid., Lihat juga Harun Nasution, op. cit., h. 61[52]Lihat Harun Nasution, ibid., h. 38