Mohammad Nor Ichwan. Al-Qur’an telah memperkenalkan dirinya dengan beberapa atribut. Salah satu di antaranya adalah berfungsi sebagai hudan li al-nas. Ia merupakan kamus kehidupan yang di dalamnya memuat kata-kata kunci yang sangat bermanfaat untuk berkomunikasi dengan Dzat yang Maha Tunggal, alam, dan manusia, bahkan dengan egonya sendiri sebagai ego terbatas, guna untuk meraih kualitas spiritual dalam bentuk taqwa.
Dewasa ini, al-Qur’an lebih banyak dipahami oleh masyarakat sebagai kitab sakral dan ritual yang telah mengkristal dalam bentuk budaya dan adat istiadat. Akibatnya, pemahaman terhadap al-Qur’an sudah mulai keluar dari fungsi hidayahnya sebagaimana telah ditunjukkan oleh al-Qur’an sendiri. Ia hanya dipandang sebagai ‘dokumen lama’ yang telah kehilangan rohnya. Al-Qur’an yang berupa naskah itu, dianggap memiliki nilai sakti atau petuah yang mengandung daya penangkal bala’ dan untuk menjauhkan manusia dari mara bahaya, bahkan al-Qur’an sekarang ini banyak dipakai sebagai alat legitimasi dan simbol untuk memberikan justifikasi kepada keinginan dan kepentingan pribadi dan kelompok yang bersifat subyektif.
Di sisi lain, masyarakat dalam bertindak, berilmu pengetahu-an, berpolitik, berperilaku ekonomi, bersosialisasi, pendidikan, dan dimensi-dimensi lain tidak merujuk secara langsung kepada kitab suci al-Qur’an, melainkan merujuk kepada kitab-kitab atau buku-buku sains, yang di dalamnya memuat pandangan hidup kapitalis, sosialis, dan materialis. Sehingga, sebagai akibat dari itu semua, umat manusia (baca: Muslim) dalam meniti kehidupannya banyak yang keluar dari petunjuk yang telah digariskan oleh al-Qur’an itu sendiri. Jika demikian keadaannya, lalu dimanakah fungsi al-Qur’an sebagai hudan li al-nas itu?
Al-Qur’an: Kitab Masa Lalu, Kini, dan Mendatang
Untuk menjawab persoalan di atas, sebenarnya tidaklah terlalu sulit. Kenyataan yang demikian itu terjadi lebih disebabkan oleh karena kebanyakan masyarakat (baca: muslim) dalam memahami al-Qur’an tidak dititik beratkan pada nilai-nilai moral atau roh dari pada al-Qur’an itu sendiri, tetapi hanya terbatas pada teks-teksnya saja. Artinya, mereka baru mampu menangkap makna al-Qur’an sebatas pada kesakralan dan ritual semata-mata.
Al-Qur’an di samping harus dibaca sebagai tadarus, juga harus dipahami, dihayati, dan direnungkan makna-maknanya, baik makna yang tekstual maupun yang kontekstual, sehingga isi kandungannya dapat diaplikasikan dalam kehidupan nyata sehari-hari. Untuk dapat menangkap nilai moral atau jiwa al-Qur’an tidaklah mudah. Namun demikian, tidak ada salahnya kalau kita berusaha – dengan kemampuan yang dimiliki – untuk menangkap pesan-pesan Tuhan yang terdapat dalam al-Qur’an tersebut. Dalam konteks ini, ilmu-ilmu bantu harus tetap digunakan sebagai sarana untuk menangkap pesan-pesan Tuhan yang ada dalam al-Qur’an.
Di antara pesan-pesan Tuhan yang kini banyak terlupakan dan kurang mendapat perhatian adalah pesan-pesan yang menyangkut masalah keilmuan (sains), yang dalam terminologi ilmu-ilmu al-Qur’an biasa disebut sebagai al-ayat al-kauniyah). Kenyataan yang demikian tidaklah terlalu mengherankan, sebab, al-Qur’an diwahyukan Allah kepada nabi Muhammad untuk disampaikan kepada umat manusia tidak dimaksudkan untuk mengajarkan tentang ilmu pengetahuan modern (sains).
Di sisi lain, ada sementara pendapat yang mengatakan bahwa para sahabat yang nota bene lebih mengetahui tentang isi kandungan al-Qur’an tidak pernah berpendapat bahwa al-Qur’an mencakup sains modern. Sehingga, generasi selanjutnya merasa tertekan dan dihinggapi rasa takut untuk melangkah lebih jauh di dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, yang secara lebih khusus menyangkut fenomena kealaman (al-ayat al-kauniyah). Akibatnya, mereka selalu menyerahkan arti dan maknanya kepada Allah swt. Persoalannya sekarang adalah: apakah kita yang hidup pada masa sekarang ini – masa di mana ilmu pengetahuan modern telah berkembang sedemikian pesatnya – harus memahami al-Qur’an layaknya pemahaman para sahabat ketika itu?
Kewajiban kita memahami al-Qur’an pada masa sekarang ini sama halnya kewajiban sahabat memahami al-Qur’an pada waktu itu. Artinya, ketika para sahabat memahami al-Qur’an ketika itu didasarkan pada konteks kesejarahannya, maka kita pun harus memahami al-Qur’an harus disesuaikan dengan perkembangan zaman yang terjadi seperti sekarang ini.
Di samping itu, al-Qur’an telah memerintahkan kepada kita untuk tidak mengikuti nenek moyang kita dengan menelan mentah-mentah apa yang mereka yakini dengan tanpa memilih dan memilah mana yang baik dan mana yang buruk. Atau dengan kata lain, bahwa pemahaman kita terhadap al-Qur’an sekarang ini tidak harus selalu sama dengan pemahaman para pendahulu kita yang secara historis tentu memiliki perbedaan-perbedaan yang kadangkala sangat diametral.
Al-Qur’an merupakan kitab masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang. Ia merupakan sumber kebenaran yang mutlak yang tidak ada keraguan di dalamnya dan menjadi pedoman hidup untuk seluruh umat manusia di alam semesta ini. Oleh karena itu, di samping al-Qur’an mampu menyelami masa silam, dan muncul dipermukaan sekarang ini, juga mampu menjangkau masa yang akan datang.
Ajaran-ajarannya tidak hanya terbatas pada bidang-bidang keagamaan semata, tetapi juga menyangkut masalah-masalah politik, ekonomi, sosial, dan disiplin ilmu lainnya, yang termasuk di dalamnya adalah masalah-masalah ilmu pengetahuan modern dan teknologi.[2] Al-Qur’an mengungkapkan berbagai disiplin ilmu tersebut hanya berupa isyarat sepintas yang tidak dapat ditangkap isyarat tersebut hanya dengan membaca sekali saja, tetapi harus dibaca berulang-ulang, sehingga akan ditemukan makna baru yang mungkin berbeda dengan makna yang ditemukan ketika membaca untuk kali pertama.
Al-Qur’an dan Sains Modern: Format Korelasi Keduanya
Memahami konsepsi al-Qur’an tentang sains modern dan teknologi, tidak dilihat dari banyaknya ayat-ayat al-Qur’an yang secara langsung membicarakan tentang teori-teori ilmiah, melainkan harus dilihat adakah ayat-ayat al-Qur’an atau jiwa ayat-ayatnya menghalangi ilmu pengetahuan. Demikian juga, harus meletakkan al-Qur’an pada proporsi yang lebih tepat sesuai dengan kemurnian dan kesuciannya. Mengenai hal ini Quraish Shihab menulis sebagai berikut:
Membahas hubungan al-Qur’an dan ilmu pengetahuan bukan dinilai dengan banyaknya cabang-cabang ilmu pengetahuan yang tersimpul di dalamnya, bukan pula dengan menunjukkan kebenaran teoriÂ-teori ilmiah, tetapi pembahasan hendaknya diletakkan pada proporsi yang lebih tepat sesuai dengan kemurnian dan kesucian al-Qur’an dan sesuai pula dengan logika ilmu pengetahuan itu sendiri. Membahas hubungan antara al-Qur’an dan ilmu pengetahuan bukan melihat, misalnya, adakah teori relativitas atau bahasan tentang angkasa luar; ilmu komputer tercantum dalam al-Qur’an; tetapi yang lebih utama adalah melihat adakah jiwa ayat-ayatnya menghalangi ilmu pengetahuan atau sebaliknya, serta adakah satu ayat al-Qur’an yang bertentangan dengan hasil penemuan ilmiah yang telah mapan?[3]
Sementara itu, menurut Jalaluddin Rahmat,[4] sedikitnya ada lima pendekatan dalam membicarakan hubungan Islam (al-Qur’an), sains dan teknologi. Pertama, menunjukkan bagai-mana al-Qur’an mendorong, membangkitkan, merangsang, dan mengilhami penemuan sains dan teknologi; kedua, mengulas sumbangan umat Islambagi perkembangan sains dan teknologi; ketiga, membahas secara falsafi nisbah Islam, sains dan teknologi. Apakah Islam hanya memberikan landasan aksiologis atau menentukan epitimologi dan ontologis sains? Pendekatan ini erat hubungannya dengan pendekatan keempat; keempat, menentukan apakah ada sains yang islami?; dan kelima, menggambarkan bagaimana perkembangan sains dan teknologi dewasa ini, lalu apa yang dilakukan umat Islam?
Sejarah telah membuktikan bahwa – dengan menggunakan pendekatan yang disebutkan pertama – umat Islam sampai abad ke tiga belas, selama lima abad secara terus menerus telah menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini dapat dilihat pada tokoh-tokoh ilmuan Muslim seperti Ibnu Sina, Jabir Ibn Hayan, al-Biruni, al-Farabi dan tokoh-tokoh ilmuwan lain yang sezamannya. Keunggulan umat Islam atas bangsa-bangsa lain dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi ini digambarkan secara ekspresif oleh Ibn Taimiyyah sebagai berikut:
Kaum muslim mengembangkan berbagai ilmu pengetahuan, baik yang bersifat kenabian (agama) maupun rasional, yang juga pernah dikembangkan oleh umat-umat sebelumnya. Tapi mereka, orang-orang muslim itu memiliki keunggulan dengan ilmu pengetahuan yang tidak dipunyai oleh umat-umat yang lain. Ilmu pengetahuan rasional dari umat-umat lain yang sampai ke tangan orang-orang muslim kemudian di kembangkan, baik pengungkapan maupun isinya, sehingga menjadi lebih baik daripada yang ada pada umat-umat yang lain itu, kemudian dibersihkan dari patokan-patokan yang palsu,dan di tambahkan kepdanya unsur kebenaran sehingga orang-orang Muslim itu menjadi lebih unggul daripada orang-orang lain.[5]
Usaha mencari ilmu pengetahuan di samping diperintahkan oleh Rasululah saw, kapan dan dimanapun berada, al-Qur’an sendiri juga telah memerintahkan hal yang sama. Ayat al-Qur’an yang pertama kali diturunkan Allah kepada nabi Muhammad saw adalah perintah untuk mambaca, yang merupakan unsur pertama dalam pengambil-alihan ilmu.
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang mencipta-kan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya (QS. al-‘Alaq/96: 1-5)
Al-Qur’an secara tegas memerintahkan umat Islam untuk mengembangkan ilmu pengetahuan (sains) lewat proses membaca (iqra’) yang didasari oleh rasa iman kepada Dzat Pemberi Ilmu. Tuntutan untuk membaca ini tidak hanya terbatas pada obyek-obyek yang tersurat saja (al-Qur’an), melainkan juga terhadap obyek-obyek yang tersirat (alam semesta). Bukan hanya menyelidiki alam semesta tetapi juga meneliti diri manusia sendiri.
Realitas membaca bukan hanya terpaku pada melihat, tetapi termasuk di dalamnya juga harus merenungkan dan memikirkan (tafakkur) terhadap apa yang dibaca. Membaca sebagai suatu proses pencapaian ilmu pengetahuan sudah barang tentu memerlukan bahan bacaan dan tempat untuk mengumpulkan bahan bacaan. Dalam konteks ini, segenap kosmos, baik alam mikro maupun alam makro, kesemuanya merupakan ruang baca, dan perpustakaan raksasa yang sarat akan ilmu pengetahuan.
Epistimologi Sains: Akal sebagai Sumber Ilmu Pengetahuan
Dalam banyak ayat, al-Qur’an telah menganjurkan dan mendorong umat manusia agar mempergunakan akal dan fikirannya untuk menemukan rahasia-rahasia Allah yang ada di alam yang fana ini. Dengan menggunakan akal dan fikiran tersebut diharapkan ilmu pengetahuan yang sebelumnya tidak diketahui dan masih tersembunyi akan dapat terkuak, yang pada akhirnya dapat dikembangkan guna kepentingan masyarakat luas.
Perintah al-Qur’an untuk mengembangkan ilmu pengetahu-an (sains) ini tidak hanya terbatas pada term aql[6] saja, tetapi menggunakan beberapa term yang beraneka ragam, di antaranya (i)tadzabbara,[7] merenungkan sesuatu yang tersurat dan yang tersirat; (ii) tafakkara,[8] berefleksi, berfikir tentang dan menmukan hukum-hukum alam; (iii) faqiha,[9] mengerti secara mendalam; (iv) tadzakkara,[10] mengingat, memperoleh peringatan, mendapat pelajaran, memperhatikan dan mempelajari; (v) fahima,[11] memahami dalam bentuk pemahaman yang mendalam; (vi) nadzara,[12] melihat secara abstrak, dalam arti merenung.
Perintah untuk intidhar terhadap alam semesta, baik ter-hadap makhluk yang hidup maupun yang tak bernyawa, seperti dalam QS. al-Ghasiyah/88: 17-20, jaminan bahwa hukum-hukum alam yang mengendalikan alam semesta ini tidak berubah[13] mengandung suatu janji bahwa apabila kita menikuti perintah Allah untuk berintidhar, kita akan menemukan sebagian dari hukum-hukum yang telah ditetapkan-Nya itu, dan kita akan menguasai sains dan akan mampu mengembangkan teknologi bagi kebahagiaan umat manusia.[14]
Berdasarkan kenyataan ini, nampak bahwa al-Qur’an – dengan perintah yang diulang-ulang – banyak berisi tentang perintah yang menyuruh manusia untuk memperhatikan alam semesta (kosmos), yang penuh dengan tanda-tanda yang harus diperhatikan, diteliti, dan difikirkan, agar dapat diketahui rahasia-rahasia yang terkandung di balik tanda-tanda itu. Sehingga menjadi jelas pula, bahwa al-Qur’an sebenarnya banyak memberikan informasi tentang masalah sains modern. Hal ini akan semakin jelas dan nyata apabila dibuktikan lewat intidhar atau observasi terhadap gejala-gejala alam itu sendiri, yang dinyatakan sebagai âyat (tanda-tanda) kekuasaan Allah swt.
Al-Ayat al-Kauniyah: Problem Penafsiran Ilmiah al-Qur’an
Intidhar atau observasi terhadap alam ini menjadi penting karena beberapa alasan, pertama, ciptaan Allah yang disebut sebagai alam semesta ini berisikan tentang tanda-tanda dan bukti serta pameran dari kebenaran dan kekuasaan-Nya; kedua, karena menafsirkan atau memahami ayat-ayat al-Qur’an tidaklah mudah.
Sebagai sampel, di sini dapat dikemukakan tentang proses penciptaan langit dan bumi – seperti yang telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya – yang terdapat dalam QS. al-Anbiya/21: 30, sebagai berikut:
Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman? (QS. al-Anbiya/21: 30)
Dalam memahami atau menafsirkan ayat ini tidaklah mudah. Pemaknaan terhadap ayat ini jika tidak didukung dengan kegiatan intidhar terhadap alam semesta ini, maka akan terasa sulit dan membingungkan. Bagaimana menafsirkan pernyataan al-Qur’an yang mengatakan bahwa langit dan bumi itu bersatu padu? Orang biasa memahami kata langit sebagai batas ruang yang tampak di atas kepala kita dan melingkupi bumi. Dan bagaimana pula menafsirkan pemisahan antara keduanya, langit dan bumi itu?
Dalam ayat al-Qur’an yang lain juga ditegaskan bahwa Allah telah menciptakan langit dan bumi ini dalam jangka waktu enam hari. Ilustrasi yang demikian ini antara lain dapat ditemukan dalam QS. al-Sajdah/32: 4, sebagai berikut;
Allah-lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas `arsy. Tidak ada bagi kamu selain daripada-Nya seorang penolongpun dan tidak (pula) seorang pemberi syafa`at. Maka apakah kamu tidak memperhatikan? (QS. al-Sajdah/32: 4)
Terhadap kenyataan al-Qur’an yang demikian ini, lalu bagaimana kita menafsirkan kalimat ‘fi sittati ayyam’ dan juga ‘summa istawa ‘ala al-arsy’.
Di samping itu, kita juga akan temukan dalam al-Qur’an bahwa Allah membangun langit itu berdasarkan kekuasaannya.
Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan sesungguhnya Kami benar-benar meluaskannya (QS. al-Dzariyat/51: 47)
Ayat-ayat al-Qur’an sebagaimana telah disebutkan, dan juga ayat-ayat lain yang senada, akan terasa sulit dimengerti dan dipahami seandainya tidak diketahui adanya gejala-gejala alam tersebut dari hasil intidhar atau observasi yang serius dalam sains. Kecuali, jika Allah mengungkapkan fenomena-fenomena tersebut secara langsung dalam al-Qur’an kepada kita. Namun demikian, dalam melakukan proses intidhar terhadap ayat-ayat Allah di alam semesta ini tidak boleh dilakukan secara gegabah, tetapi harus dilakukan secara teliti dan kehati-hatian. Artinya, intidhar yang dilakukan secara hati-hati dan disertai dengan rasa keimanan kepada Allah, maka akan ditemukan keserasian antara ayat-ayat Allah yang terdapat dalam alam semesta ini dengan ayat-ayat Allah yang terdapat dalam al-Qur’an, yang keduanya sama-sama berasal dari Tuhan yang Satu, yaitu Allah swt.
Jangankan menafsirkan ayat-ayat Allah yang menyangkut penciptaan benda-benda yang terlalu jauh atau terlalu besar bagi kita, – yang termasuk di dalamnya adalah penciptaan langit dan bumi – untuk memahami ayat-ayat Allah yang lebih dekat dan lebih kecil – termasuk di dalamnya benda-benda disekeliling kita dan tentang penciptaan manusia sendiri – tidaklah mudah bila kita mengabaikan sains modern dan tidak dibantu dengan penemuan-penemuan sains. Kita ambil contoh misalnya pada QS. al-Naml/27: 88, sebagai berikut:
Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan sebagaimana jalannya awan. (Begitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu; sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS. al-Naml/27: 88)
Bagaimana kita memahami ayat ini, bahwa gunung-gunung itu berjalan sebagaimana jalannya awan? Padahal, nampak oleh kita gunung-gunung itu selamanya tetap kokoh berada dalam tempatnya masing-masing?
Dengan bantuan sains modern, ternyata firman Allah swt di atas, sekarang ini dapat dibuktikan. Percobaan pemotretan yang dilakukan secara periodik dan terus menerus terhadap pebunungan pengunungan yang ada di Nujed (Arab Saudi) oleh Telestar (satelit Amerika Serikat), menunjukkan bahwa gunung-gunung itu bergerak ke arah utara, ke Iran sepanjang tiga inchi tiap tahun,[15] tepat seperti yang telah diilustrasikan oleh al-Qur’an.
Demikian juga, seseorang akan merasa kesulitan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang penciptaan manusia, yang di dalam al-Qur’an disebutkan bahwa manusia diciptakan dari materi atau bahan yang berbeda-beda, di antaranya adalah dari saripati tanah (sulalah min thin);[16] dari air (min al-ma’);[17] dari tanah (min thurab);[18] dari tanah liat yang kering seperti tembikar (min shalshal ka al-fakhar);[19] dari tanah liat (min thin lazibin);[20] dari tanah (min thin);[21] dari lumpur hitam yang diberi bentuk (min shalshal min hamaim masnun);[22] dan sebagainya.
Dalam beberapa ayat di atas, nampak bahwa antara ayat yang satu dengan yang lainnya saling bertentangan. Satu sisi manusia diciptakan dari tanah, sedang di sisi lain manusia diciptakan dari air. Persoalannya sekarang adalah: manusia itu diciptakan dari tanah ataukah dari air? Tanah liat yang kering sama sekali bukanlah air. Lalu bagaimanakah menafsirkan dan memahami ayat-ayat tersebut di atas? Padahal Allah telah menjamin bahwa di dalam al-Qur’an tidak ada sedikitpun ayat-ayatnya yang saling kontradiktif satu sama lainnya.
Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur’an? Kalau kiranya Al Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya (QS. al-Nisa’/4: 82)
Sebenarnya, berbagai ayat yang nampak saling bertentangan dan kontradiktif tersebut jika dikaji secara teliti dan mendalam kesemuanya tidak ada yang bertentangan. Artinya, setelah di adakan inthidhar atau observasi yang dilakukan oleh para ilmuwan terhadap asal-usul kejadian manusia dapat diketahui bahwa unsur-unsur pembentuk manusia yang disebutkan dalam al-Qur’an tersebut kesemuanya merupakan komponen yang serasi. Maurice Bucaille, seorang ahli bedah berkebangsaan Perancis, dengan jelas mengatakan hal itu.
Makna spiritual utama asal-usul manusia dari tanah tidak menyingkirkan pengertian yang ada dalam al-Qur’an, tentang apa yang pada masa kini disebut sebagai ‘komponen-komponen’ kimiawi tubuh manusia yang bisa ditemukan di tanah agar bisa membawakan pengertian ini – yang pada masa kini diakui sebagai tepat secara saintik – kepada orang-orang yang hidup ketika al-Qur’an diwahyukan, maka terminologi yang sesuai dengan tingkat pengetahuan pada masa itu harus digunakan. Manusia dibentuk dari komponen-komponen yang dikandung di dalam tanah.[23]
Bahwa pemahaman seseorang tentang ayat-ayat al-Qur’an yang menyangkut fenomena kealaman seperti ini sangat di-pengaruhi dan tergantung pada tingkat pengetahuannya mengenai fenomena kealaman itu sendiri. Seseorang yang mengaharapkan dapat menciptakan sains dari membaca al-Qur’an, tanpa melakukan penelitian dan intidhar terhadap alam semesta, sama halnya pungguk merindukan bulan. Artinya, hal itu tidak akan terjadi. Sebab, apa yang dicetuskannya adalah konsepsinya sendiri dan bukan arti ayat-ayat tersebut yang didukung oleh ayat-ayat Allah yang ada di alam semesta ini.
Jika ada seseorang yang mengatakan bahwa menurut ‘ajaran agama’ – yang sebenarnya adalah menurut pemahaman pribadi – manusia tidak mungkin untuk bisa sampai dan menginjak daratan bulan, maka pernyataan itu dianggap sebagai suatu kebohongan belaka. Sebab, fakta membuktikan bahwa manusia sekarang ini telah mampu menginjakkan kakinya di benda angkasa yang nota bene tidak ada kehidupan tersebut. Akibatnya, agamanya dianggap sebagai sesuatu yang kolot dan mengajarkan kepada hal-hal yang tidak benar, yang pada akhirnya akan menjadikan kitab sucinya sebagai suatu yang tidak otentik dan palsu belaka. Padahal, konsepsinya sendirilah yang salah.
Demikian pula, ketika ia menafsirkan ayat al-Qur’an yang menyataan bahwa manusia diciptakan tanah liat. Yakni, sari pati tanah yang tercampur dengan air. Ia barangkali akan mengatakan bahwa Allah swt membuat suatu bentuk yang bahannya dari tanah liat tadi sebagaimana bentuk manusia seperti sekarang ini, lalu ditiupkan padanya roh Tuhan dan berfirman jadilah manusia, maka jadilah manusia itu. Jika demikian halnya, nampak sangat sederhana sekali konsepsinya itu. Lalu, bagaimanakah ia akan menafsirkan ayat al-Qur’an yang menyatakan bahwa manusia itu diciptakan dari sesuatu yang bahan dasarnya adalah debu? Padahal debu bukanlah tanah liat. Bagaimana pula konsepsinya itu jika dihubungkan dengan ayat-ayat lainnya, seperti yang tertuang dalam QS. al-Hajj/22: 5.
Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (ada pula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya. Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah (QS. al-Hajj/22: 5)
Berpijak dari hasil intidhar yang dilakukan oleh para ilmuwan terhadap alam semesta yang ada disekeliling kita – baik yang jauh seperti galaksi, matahari, bintang, bulan, dan sebagainya, maupun yang dekat dengan kita seperti bumi, gunung-gunung, lautan, angin, hujan, sungai, dan sebagainya – maka kita (baca: mufassir) telah berhasil memberikan penafsiran dan pengertian yang menunjukkan adanya keserasian antara ayat-ayat Allah yang ada dalam al-Qur’an dengan ayat-ayat Allah yang ada dalam alam semesta ini.
Dengan berkembang dan sempurnanya sains modern seperti sekarang ini, kita akan mempunyai informasi yang lebih akurat dan lebih banyak untuk memahami lebih banyak ayat-ayat al-Qur’an yang sebelumnya sulit untuk dimengerti dan dipahami, yang secara khusus menyangkut fenomena kealaman (al-ayat al-kauniyah).
Isyarat Perkembangan Sains Modern dalam al-Qur’an
Apa yang telah dijelaskan dan dipaparkan pada pembahasan sebelumnya merupakan suatu isyarat al-Qur’an yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan (sains). Bahkan, di dalam al-Qur’an juga dapat ditemukan ayat-ayat yang berkaitan dengan pengembangan teknologi. Kenyataan ini dapat dijumpai antara lain dalam QS. al-Anbiya’/21: 80-81, sebagai berikut:
Dan telah Kami ajarkan kepada Daud membuat baju besi untuk kamu, guna memelihara kamu dalam peperanganmu; Maka hendaklah kamu bersyukur (kepada Allah). Dan (telah Kami tundukkan) untuk Sulaiman angin yang sangat kencang tiupannya yang berhembus dengan perintahnya ke negeri yang Kami telah memberkatinya. Dan adalah Kami Maha Mengetahui segala sesuatu (QS. al-Anbiya’/21: 80-81)
Kedua ayat ini menunjukkan bahwa nabi Daud as. diberi teknologi pengerjaan bahan besi untuk dibuat baju besi sebagai perisai, sedangkan nabi Sulaiman diberi pengetahuan teknik pemanfaatan energi angin oleh Allah. Keterangan seperti tersebut di atas juga didapati dalam QS. Saba’/34: 10-12, sebagai berikut:
Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Daud kurnia dari Kami. (Kami berfirman): “Hai gunung-gunung dan burung-burung, bertasbihlah berulang-ulang bersama Daudâ€, dan Kami telah melunakkan besi untuknya, (yaitu) buatlah baju besi yang besar-besar dan ukurlah anyamannya; dan kerjakanlah amalan yang saleh. Sesungguhnya Aku melihat apa yang kamu kerjakan. Dan Kami (tundukkan) angin bagi Sulaiman, yang perjalanannya di waktu pagi sama dengan perjalanan sebulan dan perjalanannya di waktu sore sama dengan perjalanan sebulan (pula) dan Kami alirkan cairan tembaga baginya. Dan sebahagian dari jin ada yang bekerja di hadapannya (di bawah kekuasaannya) dengan izin Tuhannya. Dan siapa yang menyimpang di antara mereka dari perintah Kami, Kami rasakan kepadanya azab neraka yang apinya menyala-nyala. (QS. Saba’/34: 10-12)
Prof. Dr. Abdussalam memahami ayat ‘Dan kami jadikan besi melunak baginua…’, Kami tundukkan angin baginya, dan ia mempunyai jin-jin di bawah perintahnya’ sebagai suatu kemampuan mengendalikan mesin-mesin berat pada zaman itu, yang dipergunakan dalam pembuatan balok-balok bangunan, istana-istana, bendungan-bendungan dan waduk-waduk. Kemudian – lebih lanjut ia mengatakan – kita diingatkan pada Dzulkarnaen (QS. al-Kahfi/18: 95-96)[24] yang membangun pertahanan dengan balok-balok dan besi serta tembaga cair.[25]
Dengan demikian, maka ditonjolkanlah ilmu metalurgi, teknik konstruksi berat, teknologi energi angin dan komunikasi. Sebagaimana diketahui oleh setiap muslim bahwa kitab suci ketika mengungkapkan sesuatu tidak sekedar asal-asalan, melainkan sebagai dorongan untuk masa depan dan sebagai contoh untuk diikuti oleh masyarakat.
Kalau sekiranya Kami menurunkan al-Qur’an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir (QS. al-Hasyr/59: 21)
Keadaan semacam ini akan dapat dicapai manakala umat Islam mau mengikuti apa yang diperintahkan Allah, yaitu berintidhar terhadap alam semesta, sehingga kita dapat melihat ayat-ayat Allah sebagai tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan-Nya.
Sudah barang tentu, dalam proses inthidhar kita tidak boleh melanggar akidah agama. Sebab, kita yakin akan kebenaran dan keautentikan al-Qur’an. Sehingga, akidah-akidahnya pun juga harus dijunjung tinggi. Artinya, kita berintidhar mengembangkan sains pada dasarnya adalah karena taat kepada perintah Allah,[26] guna untuk mendapatkan hidayahnya dari ungkapan ayat-ayat Allah yang ada di alam semesta ini, sehingga kita dapat memahami ayat-ayat Allah yang ada di dalam al-Qur’an itu sendiri.
Wal hasil, apa yang telah dijanjikan Allah bahwa Dia akan memperlihatkan kepada manusia tanda-tanda-Nya (al-ayat) yang ada pada seluruh horizon (alam makro) dan dalam diri manusia sendiri (alam mikro), akan menjadi kenyataan, dan bahwa dia adalah sumber kebanaran. Hal ini sebagaimana dijanjikan Allah dalam QS. Fushshilat/41: 53, sebagai berikut:
Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu? (QS. Fushshilat/41: 53)
Al-Qur’an surat Fushshilat ayat 53 tersebut secara khusus menunjukkan suatu isyarat akan tumbuhnya berbagai jenis ilmu pengetahuan serta tujuannya. Hal ini dapat dilihat pada huruf ‘sin’ yang terdapat pada kata ‘sanurihim’ yang berarti ‘Kami akan memperlihatkan’. Huruf ‘sin’ yang dihubungkan dengan kata kerja imperfektum (fi’l al-mudharik) tersebut mengandung makna masa yang akan datang (al-mustaqbal). Di mana masa yang akan datang tersebut tidak berkesudahan, bahkan merupakan suatu yang berkesinambungan sampai hari pengadilan nanti.
Di sisi lain, perkataan ‘hatta yatabayyana lahum’, sehingga menjadi jelas bagi mereka, dalam ayat tersebut – dan seringnya dipakai perkataan la’alla (seandainya) dalam konteks-konteks seperti ini – menunjukkan sikap al-Qur’an yang sangat penting terhadap usaha menuntut ilmu.[27]
Seandainya segala ilmu pengetahuan – baik yang terdapat dalam alam makro maupun alam mikro – dikumpulkan menjadi satu, maka ia tidak akan lepas dari makna firman Allah, ayatina fi al-afaq wa fi anfusihim, yang ada di segenap penjuru (cakrawala) dan pada diri manusia sendiri. Yakni, cakrawala alam dan cakrawala manusia.
Tanda-tanda kekuasaan Allah yang terdapat dalam alam semesta ini maupun yang ada pada diri manusia, adalah lebih terang dari sinar matahari, dan lebih cemerlang dari fajar yang terbit pada kejernihan langit. Takkan ada seorang pun yang merasa kesulitan dan takkan ada sebiji matapun yang kesulitan melihatnya. Cukuplah dengan membuka kitab yang berupa alam ciptaan Tuhan ini, kemudian dibaca, pasti akan mendapati tanda-tanda kekuasaan-Nya. Mengenai hal ini Dr. Muhammad al-Khatib menulis sebagai berikut:
Saya tidak perlu menyuruh anda memenuhi laboratorium dengan berpuluh-puluh perkakas dan peralatan yang paling mutakhir. Tidak perlu mengajak anda menjelajah ruang angkasa dengan sebuah pesawat atau menyelam ke dalam lautan dalam sebuah kapal selam. Dan tidak terlalu penting anda pelajari buku-buku, baik yang pernah ditulis oleh orang-orang dulu maupun sekarang. Semua itu tidak perlu kalau hanya untuk mengetahui ke-Esaan dan Ke-Tuhanan Dia Yang Maha pencipta. Lihat saja diri anda sendiri. Perhatikan ujung jari anda, pangkal leher anda, perhatikan sati saja di antara persendian-persendian yang etrdapat dalam tubuh anda, anda pasti menemui bukti yang kuat yang tak bisa diragukan lagi. Pasti anda temui bukti akan adanya Allah.[28]
Namun, jika kalimat yang amat gamblang tersebut tidak bisa juga dimengerti maknanya oleh akal pikiran, maka sesungguhnya akal pikiran yang demikian itu tidak akan mengetahui apapun juga.
Dimensi Praksis al-Ayat al-Kauniyah dalam al-Qur’an
Alam semesta ini merupakan suatu kosmos yang dalam perspektif al-Qur’an keberadaannya bukan ada dengan sendirinya, tetapi diciptakan oleh Allah.[29] Dia menciptakan alam semesta ini secara haq,[30] dan tidak menciptakan alam ini dengan main-main,[31] demikian pula tidak secara bathil.[32] Sebagai sesuatu yang haq, maka alam ini mempunyai wujud yang nyata.
Salah satu ciri utama bahwa alam ini diciptakan sebagai suatu yang haq, tidak bathil, dan tidak pula main-main adalah bahwa alam semesta ini tidak dalam keadaan kacau (caos), melainkan tertib, indah, dan tanpa cacat. Sebagai suatu yang serba baik, indah dan serasai, alam semesta ini merupakan eksistensi yang penuh maksud dan tujuan. Atau dengan kata lain, alam ini adalah eksistensi teleologis, yaitu sebagai suatu wujud yang berhikmah. Mengenai hal ini Ismail al-Faruqi mengatakan:
Hakikat kosmos adalah teleologis yakni penuh maksud memenuhi maksud penciptanya, dan kosmos bersifat demikian adalah karena adanya rancangan. Alam bukanlah hasil suatu kebetulan, suatu ketidak-sengajaan. Alam diciptakan dalam kondisi sempurna. Semua yang ada ini begitu keadaannya dalam yang sesuai baginya dan memenui suatu tujuan universal. Alam ini adalah benar-benar suatu “kosmos†(keharmonisan), bukan suatu “kaos†(kekacauan).[33]
Di dalam al-Qur’an banyak dijumpai ayat-ayat – baik secara langsung maupun tidak langsung – yang merujuk pada fenomena alam ini. Di mana hampir seluruh ayat ini memerintahkan manusia untuk mempelajari hal-hal yang berkenaan dengan penciptaan dan merenungkan isinya. Rujukan al-Qur’an terhadap fenomena ke-alaman (al-ayat al-kauniyah) ini tidak dimaksudkan untuk me-ngajarkan ilmu pengetahuan atau sains modern sebagaimana buku-buku ilmiah pada umumnya, tetapi dimaksudkan antara lain untuk: pertama, sebagai sarana untuk mengenal Tuhan dan kekuasaan-Nya, serta menambah keimanan dan mendekatkan diri kepada-Nya; kedua, sebagai stabilitas, manfaat, dan memenuhi kebutuhan hidup manusia.
- 1. Al-Ayat al-Kauniyah: Sarana Mengetahui Yang Haq, Menambah Keimanan, dan Taqarrub ila Allah.
Dalam perspektif al-Qur’an, pemahaman terhadap alam ini tidak akan bermakna kecuali jika ia membantu kita memahami Sang Pencipta dan dapat mendekatkan diri kepada-Nya. Sebab, inilah tujuan utama dan terutama dari memahami alam semesta. Menurut al-Qur’an alam semsta ini merupakan suatu tanda-tanda (ayat) yang berfungsi sebagai sarana untuk dapat meraih pengethuan tentang Tuhan.
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka (QS. Ali Imran/3: 190)
Dalam al-Qur’an, kata ayat (tunggal: ayah) dengan berbagai bentuknya terdapat dalam 384 tempat yang tersebar dalam beberapa surah.[34] Menurut Watt, kata ayat lebih sering digunakan dalam arti “tanda†atau “mu’jizatâ€, karena kata ayat sendiri mempunyai keterkaitan dengan bahasa Ibrani, ‘oth dan kata Siria ‘atha, yang memiliki pengertian dasar “tandaâ€.[35] Lebih lanjut ia mengatakan bahwa kata ayat dalam al-Qur’an digunakan dan diterapkan dalam empat bentuk, di antaranya: (1) fenomena kealaman yang merupakan tanda-tanda kemahakuasaan dan karunia Tuhan; (2) peristiwa-peristiwa atau obyek-obyek yang dikaitkan dengan tugas seorang utusan Tuhan dan cenderung memperkuat kebenaran pesan Ilahi yang dibawanya; (3) tanda-tanda yang dibacakan seorang utusan Tuhan; (4) tanda-tanda yang merupakan bagian al-Qur’an atau al-Kitab.[36]
Sekalipun term ayat (tanda-tanda) memiliki berbagai makna – berdasarkan konteks dari masing-masing ayat – namun dalam kajian ini, makna ayat lebih merujuk kepada makna yang disebutkan pertama, yaitu fenomena kealaman yang merupakan tanda-tanda kemahakuasaan dan kebesarab Tuhan.
Dalam perspektif al-Qur’an, alam ini – baik yang ada dalam alam makro seperti langit dan bumi serta isinya, serta alam mikro, seperti dalam penciptaan manusia sendiri – merupakan tanda-tanda (ayat) kebesaran Allah. Hal ini sebagaimana disinyalir dalam beberapa firman Allah berikut:
Sesungguhnya pada langit dan bumi benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) untuk orang-orang yang beriman. Dan pada penciptaan kamu dan pada binatang-binatang yang melata yang bertebaran (di muka bumi) terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) untuk kaum yang meyakini (QS. al-Jasiyah/45: 3-4)
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui (QS. al-Rum/30: 22)
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia memperlihat-kan kepadamu kilat untuk (menimbulkan) ketakutan dan harapan, dan Dia menurunkan air hujan dari langit, lalu menghidupkan bumi dengan air itu sesudah matinya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mempergunakan akalnya (QS. al-Rum/30: 24)
Tiga ayat yang telah disebutkan merupakan ayat-ayat yang membicarakan tentang tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran Allah. Sudah barang tentu, ayat-ayat yang senada jumlahnya masih banyak lagi. Dari ketiga ayat ini, terasa sudah cukup untuk memberikan pengertian bahwa pemahaman terhadap alam semesta atau kosmos melalui indera, intelek, dan wahyu dapat mengembangkan wawasan manusia bagi pengenalan Allah swt., Tuhan Pencipta alam ini.
Untuk dapat sampai kepada tujuan utama ini, yaitu mengenal Allah dan kekuasaan-Nya, manusia melalui inteleknya harus melewati tahapan-tahapan terlebih dahulu, di antaranya:
Pertama, memikirkan dan memahami tentang asal-usul, evolusi makhluk-makhluk dan fenomena kealaman. Tidak sedikit ayat-ayat al-Qur’an yang secara tegas mendorong manusia untuk memikirkan tentang proses kejadian alam semesta dan juga asal-usul manusia sendiri. Di antaranya dapat dijupai dalam beberapa firman Allah:
Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman? (QS. al-Anbiya’.21: 30)
Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah menciptakan tujuh langit bertingkat-tingkat? Dan Allah menciptakan padanya bulan sebagai cahaya dan menjadikan matahari sebagai pelita? (QS. Nuh/71: 15-16)
Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh) nya roh (ciptaan) -Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur (QS. Sajdah/32: 7-9)
Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan, Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan? (QS. al-Ghasiyah/88: 17-20)
Dengan memahami asal-usul tentang alam ini dan juga kejadian manusia serta evolusi makhluk-makhluk, akan membawa kepada pamahaman terhadap sesuatu yang berada dibalik alam materi itu. Yakni, yang menciptakan alam semesta ini, Allah swt. Sebab, setiap sesuatu yang kasat mata (materi) pasti ada yang men-ciptakan. Di samping itu, dengan memahami terhadap penciptaan alam, baik alam makro maupun alam mikro akan meningkatkan keimanan manusia dan membawanya lebih dekat kapada Dzat yang meniciptakan.
Kedua, memperhatikan keteraturan dan koordinasi dalam sistem penciptaan alam. Tak dapat dipungkiri bahwa dalam al-Qur’an banyak ditemukan ayat-ayat yang menjelaskan tentang adanya aturan, koordinasi, dan tujuan alam semesta sebagai bukti-bukti yang mengukuhkan eksistensi pencipta Yang Maha Kuasa lagi Bijaksana, di antaranya:
Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dengan benar. (QS. al-An’am/6: 73)
Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi dan segala yang ada di antara keduanya dengan bermain-main. (QS. al-Anbiya/21: 16)
Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka?, Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan. Dan sesungguhnya kebanyakan di antara manusia benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Tuhannya. (QS. al-Rum/30: 8)
Dan tidak ada sesuatupun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya; dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu. (QS. al-Hijr/15: 21)
Ayat al-Qur’an yang senada dengan ayat-ayat di atas jumlahnya masih banyak, di antaranya QS. al-Rahman/55: 5 dan 7; al-Ra’d/13: 8; al-Furqan/25: 2; al-Hijr/15: 19, dan sebagainya. Ayat-ayat ini kesemuanya menjelaskan tentang tujuan diciptakan-nya alam semesta, di mana semuanya bergerak secara harmonis mengikuti suatu perhitungan dan ukuran yang sesuai. Keharmonis-an alam ini tidak berjalan dengan sendirinya, tetapi ada yang mengatur, yaitu Allah Dzat Yang Maha Mengatur.
Untuk memperjelas pernyataan di atas, perlu kiranya disajikan penjelasan Syekh Ja’far al-Subhany dalam Ma’alim al-Tauhid fi al-Qur’an al-Karim, yang selanjutnya dikutip oleh Jalaluddin Rahmad sebagai berikut:
Sesungguhnya keteraturan dan hukum-hukum yang terjadi pada wujud alam bersifat total dan komprehensif, sehingga jika ditakdirkan seseorang – dengan eksperimen – mengung-kapkan sebuah sunnah pada sebuah titik tertentu di antara titik alam semesta, ia mungkin dapat mengungkapkan sebuah hukum yang umum dan menyeluruh dan membawanya kepada sunnah kauniyah umum. Ini adalah petunjuk yang paling utama tentang kesatuan aturan yang mengatur alam semesta. Sesungguhnya kesatuan peraturan alam, universali-sasi sunnah dan hukum-hukum alam, membawa kita kepada dua hal (1) bahwa di alam ini hanya ada satu Pencipta, (2) hanya ada satu pengatur di alam semesta.[37]
Kutipan ini pada dasarnya memperjelas gagasan-gagasan sebelumnya yang menyatakan bahwa ketika al-Qur’an mengung-kapkan fenomena kealaman (al-ayat al-kauniyah) tidak dimaksud-kan sebagai usaha untuk mengajarkan sains modern, tetapi lebih kepada sarana untuk dapat mengenal Tuhan Sang Maha Pencipta. Di sisi lain yang demikian itu juga dimaksudkan sebagai sarana untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada-Nya. Namun demikian, ayat-ayat itu tidak akan memiliki manfaat kecuali bagi mereka yang berilmu dan beriman.
Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha Pengampun. (QS. Fathir/35: 28)
Katakanlah: “Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfa`at tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak berimanâ€. (QS. Yunus/10: 101)
Ketiga, merasa yakin bahwa ada realitas di balik alam materi. Sehubungan dengan hal ini, al-Qur’an banyak menyebutkan bahwa kita diperintahkan untuk merenungkan ayat-ayat Allah di alam semesta ini. Tujuan dari ini semua sebenarnya lebih diarahkan pada pemahaman bahwa di balik alam materi ini ada realitas lain yang lebih sempurna. Secara khusus dapat diketengah-kan kasus nabi Ibrahim dalam usahanya mencari Tuhan. Informasi ini dapat dijumpai dalam QS. al-An’am/6: 76-79:
Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: “Inilah Tuhanku†Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: “Saya tidak suka kepada yang tenggelamâ€. Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: “Inilah Tuhankuâ€. Tetapi setelah bulan itu terbenam dia berkata: “Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesatâ€. Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata: “Inilah Tuhanku, ini yang lebih besarâ€, maka tatkala matahari itu telah terbenam, dia berkata: “Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. (QS. al-An’am/6: 76-79)
Ayat ini dengan jelas memberikan gambaran bahwa nabi Ibrahim telah dibimbing untuk melihat dimensi spiritual dari langit dan bumi. Yakni, keyakinan kepada Tuhan semesta alam yang merupakan tujuan akhir dari pemahaman alam semesta. Oleh karena itu, seseorang dalam usahanya mempelajari alam tidak seharusnya menyibukkan dirinya dengan alat dan melupakan akan tujuan akhirnya.
- 2. Al-Ayat al-Kauniyah: Stabilitas Hidup Manusia
Dalam perspektif al-Qur’an, pengungkapan fenomena alam (al-ayat ak-kauniyah) di samping bertujuan untuk mengenal Tuhan dan mendekatkan diri kepada-Nya, juga berfungsi sebagai prasarat untuk mewujudkan salah satu tujuan diciptakannya alam semesta ini. Yakni, untuk kesejahteraan dan manfaat sebesar-besarnya bagi manusia. Dalam al-Qur’an penyediaan dan pemanfaatan alam sebesar-besarnya untuk kepentingan manusia ini biasa dikenal sebagai doktrin tasykhir.[38]
Sehubungan dengan masalah ini Yusuf Ali, salah seorang ahli tafsir al-Qur’an yang paling terkemuka di zaman modern ini, dalam The Holy Qur’an, yang selanjutnya dikutip oleh Nurcholish Madjid menulis sebagai berikut:
Semua yang ada di alam tersedia untuk manfaat manusia, melalui kemampuan berfikirnya dan kemampuan-kemampu-an yang diberikan oleh-Nya (Tuhan) kepada manusia itu. Manusia harus tidak pernah lupa bahwa itu semua berasal dari Dia. Yakni dari Tuhan, sebab bukankah manusia itu khalifah Tuhan di bumi.[39]
Ilmu pengetahuan (science) itu diberikan Allah kepada manusia melalui kegiatan manusia sendiri dalam usaha memahami alam semesta ini. Dengan kata lain, dalam usaha memahami alam sekitarnya itu manusia harus mengerahkan dan mencurahkan akalnya. Oleh karena itu, alam semesta ini bagi manusia merupakan obyek pemahaman dan sekaligus sebagai sumber pelajaran bagi manusia yang mau menggunakan akal budinya.
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. (QS. Ali Imran/3: 190)
Dalam al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang – baik secara eksplisit maupun implisit – menyebutkan tentang anugerah atau pemberian-pemberian yang harus dimanfaatkan sebesar-besarnya demi kepentingan manusia. Di antaranya dapat dijumpai dalam QS. Ibrahim/14: 32-34, sebagai berikut:
Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluar-kan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezki untukmu, dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai. Dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan bagimu malam dan siang. Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dari segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung ni`mat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat menging-kari (ni’mat Allah). (QS. Ibrahim/14: 32-34)
Ayat ini secara tegas menginformasikan kepada kita bahwa Allah telah memberikan nikmat-Nya yang tak terhitung banyaknya kepada umat manusia. Dengan memahami kata “kum†(kamu semua), sampai enam kali, kalimat itu ditunjukkan kepada kita. Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa air, buah-buahan, kapal-kapal, sungai-sungai, matahari, bulan, malam dan siang, semuanya itu telah diserahkan oleh Allah kepada kita untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya guna memenuhi segala kebutuhan hidupnya, bahkan lebih dari itu Allah telah mengabulkan segala permohonan kita.
Di antara ayat-ayat al-Qur’an yang senada dengan ayat-ayat di atas adalah antara lain:
Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir. (QS. al-Jasiyah/45: 13)
Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi itu (sumber) penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur. (QS. al-A’raf/7: 10)
Dan karena rahmat-Nya, Dia jadikan untukmu malam dan siang, supaya kamu beristirahat pada malam itu dan supaya kamu mencari sebahagian dari karunia-Nya (pada siang hari) dan agar kamu bersyukur kepada-Nya. (QS. al-Qash-shash/28: 73)
Dari ketiga ayat di atas menjadi jelaslah bahwa kekayaan yang ada di alam ini semuanya diperuntukkan bagi manusia, namun demikian diantara sekian banyak umat manusia hanya sedikit yang mau bensyukur kepada Allah atas nikmat-nikmat-Nya itu. Yang pada akhirnya – dengan nikmat akal yang diberikan Allah – tidak mau memperhatikan alam ini dengan serius, sehingga ummat Islam khususnya, banyak tertinggal dengan orang-orang Barat yang nota bena non-Muslim.
Sebenarnya Allah telah menyerahkan semua itu kepada ummat Islam khususnya dan umat manusia pada umumnya, seba-gaimana dalam firman-Nya:
Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia menge-luarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezki untukmu, dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai. (QS. Ibrahim/14: 32)
Ayat ini – dan juga ayat-ayat lain yang senada – pada dasarnya merupakan himbauan kepada umat Islam untuk selalu memikirkan masa depannya sendiri. Namun, umat Islam sendiri nampaknya masih tertutup hatinya dan bingung pikirannya, hingga menjadi lalai memikirkan masa depannya, dan berusaha merubah nasibnya, seperti halnya yang telah disinyalir dalam al-Qur’an sebagai berikut: Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (QS. al-Ra’d/13: 11)
Penutup
Semoga dengan sindiran atau ajakan ayat seperti ini, umat Islam menjadi tergugah dan semakin menyadari bahwa sesuatu itu tidak akan didapat hanya dengan berpangku tangan, sebab emas ataupun perak itu tidak akan jatuh dari langit, tapi sesuatu itu harus diusahakan melalui kegiatan-kegiatan yang dilakukan secara bertahap dan terus-menerus. Wa Allah A’lam.
[1]Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang.
[2]Term al-ilm dan kata-kata jadiannya dalam al-Qur’an terulang lebih dari 780 kali. (Lihat Muhammad ‘Abd al-Baqiy, op. cit., h. 469-481). Menurut Prof. Dr. Abdussalam bahwa dalam bahasa Arab tidak ada kata lain untuk sains kecuali ilm (Lihat Prof. Dr. Abdussalam, Sains dan Dunia Islam (Bandung: Pustaka, 1985), h. 16). Lebih lanjut ia mengatakan bahwa di dalam al-Qur’an tekanan yang sama untuk sains dan teknologi adalah pada kata tafakkur (berefleksi, berpikir tentang dan menentukan hukum-hukum alam (sains), dan tasykhir, yaitu memperoleh penguasaan atas alam dengan teknologi. (Lihat ibid., h. 25)
[3]Lihat Dr. M. Quraish Shihab, Memabumikan al-Qur’an:Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1999), cet. XIX,h. 41.
[4]Lihat Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif: Ceramah-ceramah di kampus (Bandung: Mizan, 1991), h. 148
[5]Dikutip dari Dr. Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Keindonesiaan (Jakarta: Paramadina, 1992), h. 529
[6]Term aql sebagai kata benda tidak sekalipun disebut dalam al-Qur’an, tetapi yang disebut adalah bentuk kata kerjanya, baik sebagai fi’l madhi maupun fi’l al-mudhari’. Kata ini dan kata jadiannya dalam al-Qur’an t6erdapat dalam 49 tempat, dengan perincian sebagai berikut: ‘Aqaluh satu kali, ta’qilun 24 kali, na’qilu satu kali, ya’qiluha satu kali, dan ya’qilun 22 kali. (Lihat ‘Abd al-Baqiy, op. cit., h. 468-469).
Al-Jurjani dalam al-Ta’rifat menyebutkan beberapa definisi akal, yaitu (1) akal adalah substansi (jauhar) jiwa yang diciptakan Allah dan terkait dengan badan manusia; (2) akal adalah cahaya (nur) dalam hati untuk mengetahui kebenaran dan kebatilah; (3) akal juga berarti substansi yang murni dari materi yang hubungannya dengan badan dalam bentuk mengatur dan mengendalikan; (4) akal adalah suatu kekuatan bagi jiwa berpikir. Karena jelas bahwa kekuatan berpikir berbeda dengan jiwa berpikir, sebab pelaku perbuatan (fa’il) sebenarnya adalah jiwa sedang akal adalah alat bagi jiwa sebagaimana pisau alat bagi tukang potong (qathi’); (5) akal sama pengertiannya dengan al-nafs dan al-dihn; (6) dinamakan al-‘aql karena ia mampu menangkap, dinamakan al-nafs karena ia sebagai pengendali, dan dinamakan al-dzihn karena ia siap untuk menagkap sesuatu. (Lihat Muhammad al-Jurjani, Kitab al-Ta’rifat (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.), h. 151-152)
[7]Term ini dalam al-Qur’an terdapat dalam empat tempat, dua di antaranya menggunakan ungkapan yatadzabbarun, yaitu pada QS. al-Nisa’/4: 82 dan QS. Muhammad/47: 24, dan dua yang lainnya dengan ungkapan yudzabbirun, yaitu pada QS. al-Mu’minun/23: 68 dan QS. Shaad/38: 29. (Lihat Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqiy, op. cit., h. 252). Melalui kegiatan tadzabbur ini, manusia akan diarahkan pada suatu fakta bahwa al-Qur’an menambahkan dimensi baru terhadap studi mengenai yang tersurat, yaitu al-Qur’an dan tanda-tanda yang terdapat dalam alam raya dan membantu pikiran manusia melakukan terobosan terhadap batas penghalang dari alam materi ini.
[8]Kataa ini dan kata jadiannya dalam al-Qur’an terdapat dalam 16 tempat. Di antaranya dalam QS. al-Jatsiyah/45: 13: Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir.
[9]Term ini juga terdapat dalam 16 ayat. Di antaranya dalam QS. al-An’am/6: 65: Perhatikanlah, betapa Kami mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami silih berganti agar mereka memahami (nya).
[10]Term ini dan kata jadiannya dalam al-Qur’an terulang dalam 282 tempat. Di antaranya dalam QS. al-Nahl/16: 17: Maka apakah (Allah) yang menciptakan itu sama dengan yang tidak dapat menciptakan (apa-apa)? Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran.
[11]Term ini dalam al-Qur’an hanya terdapat dalam satu tempat, yaitu dalam QS. al-Anbiya’/21: 79: maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat); dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu dan telah Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Daud. Dan Kamilah yang melakukannya.
[12]Kata intidhar dapat pula berarti mengumpulkan pengetahuan melalui pengamatan atau observasi dan pengukuran atau pengumpulan data pada alam sekitar kita, baik yang hisup seperti manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan maupun yang tak bernyawa, seperti bintang, matahari, gunung, lautan, dan benda-benda lain yang mengelilingi kita. (Lihat Prof. Dr. A. Baiquni, op. cit., h. 1). Kata nadhara dan kata jadiannya terdapat dalam al-Qur’an lebih dari 30 tempat. Di antaranya dalam QS. 88: 17-20: Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan, Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?
[13]Dalam al-Qur’an hukum-hukum yang tidak berubah itu disebut sebagai sunnatullah (peraturan Allah). Hal ini sebagaimana disinyalir dalam QS. al-Fath/48: 23: Sebagai suatu sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu, kamu sekali-kali tiada akan menemukan perubahan bagi sunnatullah itu.
[14]Lihat Prof. Dr. A. Baiquni, op. cit., h. 16
[15]Lihat Dr. Ahmad Muflih Saifuddin, Al-Qur’an sebagai Motivator Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Serial Khutbah Jum’at (SKJ), No. 147 Th. XVIII, September, 1993, h. 56
[16]Lihat QS. al-Mu’minun/23: 12, yang artinya: Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah.
[17]Lihat QS. al-Anbiya’/21: 30, yang artinya: Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?
[18]Lihat QS. al-Hajj/22: 5, yang artinya: Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah.
[19]Lihat QS. al-Rahman/55: 14, yang artinya: Dia menciptakan manusia dari tanah kering seperti tembikar.
[20]Lihat QS. al-Shaffat/37: 11, yang artinya: Maka tanyakanlah kepada mereka (musyrik Mekah): “Apakah mereka yang lebih kukuh kejadiannya ataukah apa yang telah Kami ciptakan itu?†Sesungguhnya Kami telah menciptakan mereka dari tanah liat.
[21]Lihat QS. al-An’am/6: 2, yang artinya: Dialah Yang menciptakan kamu dari tanah, sesudah itu ditentukannya ajal (kematianmu), dan ada lagi suatu ajal yang ditentukan (untuk berbangkit) yang ada pada sisi-Nya (yang Dia sendirilah mengetahuinya), kemudian kamu masih ragu-ragu (tentang berbangkit itu).
[22]Lihat QS. al-Hijr/15: 26, yang artinya: Dan sesungguhnya Kami telah meciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk.
[23]Dr. Maurice Bucaille, Asal-Usul Manusia Menurut Bibel, Al-Qur’an dan Sains, terj. Rahmani Astuti (Bandung: Mizan, 1992), h. 203
[24]Artinya: Dzulqarnain berkata: “Apa yang telah dikuasakan oleh Tuhanku kepadaku terhadapnya adalah lebih baik, maka tolonglah aku dengan kekuatan (manusia dan alat-alat), agar aku membuatkan dinding antara kamu dan mereka, berilah aku potongan-potongan besi†Hingga apabila besi itu telah sama rata dengan kedua (puncak) gunung itu, berkatalah Dzulqarnain: Tiuplah (api itu)â€. Hingga apabila besi itu sudah menjadi (merah seperti) api, diapun berkata: “Berilah aku tembaga (yang mendidih) agar kutuangkan ke atas besi panas ituâ€.
[25]Lihat Prof. Dr. Abdussalam, op. cit., h. 25
[26]Lihat misalnya dalam QS. Yunus/10: 101, yang artinya: Katakanlah: “Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfa`at tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak berimanâ€.
[27]Ali Isa Othman, Manusia Menurut al-Ghazali (Bandung: Pustaka, 1981), h. 180
[28]Dr. Muhammad al-Khatib, Sains dan Islam Kemu’jizatan Dunia (Bandung: al-Ma’arif, 1985), h. 60
[29]Lihat QS. al-A’raf/7: 54, yang artinya: Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas `Arsy.
[30]Lihat QS. al-Zumar/39: 5, yang artinya: Dia menciptakan langit dan bumi dengan (tujuan) yang benar; Dia menutupkan malam atas siang dan menutupkan siang atas malam dan menundukkan matahari dan bulan, masing-masing berjalan menurut waktu yang ditentukan. Ingatlah Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.
[31]Lihat QS. al-Anbiya/21: 16, yang artinya: Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi dan segala yang ada di antara keduanya dengan bermain-main.
[32]Lihat QS. 38: 27, yang artinya: Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya tanpa hikmah (bathila).
[33]Dr. Nurcholis Madjid, op. cit., h. 290
[34]Lihat Muhammad Fuad Abd al-Baqi, Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadz al-Qur’an al-Karim, Dar al-Fikr, Beirut, 1981, hlm. 103-108. Secara etimologis, kata ayat dalam al-Qur’an mempunyai beberapa arti, di antaranya: Mu’jizat (QS. al-Baqarah/2: 211); Tanda, alamah (QS. al-Baqarah/2: 248); Pelajaran, ibrah (QS. Ali Imran/3: 13); Bukti/dalil,petunjuk (QS. al-Rum/30: 22); Perkara yang menakjubkan/mengagumkan. (QS. al-Mu’minun/23: 50); Jama’ah/kaum. Seperti ungkapan orang arab “kharaja al-qaum bi ayatihimâ€, kaum itu pergi bersama ayah mereka, yaitu jama’ah mereka. (Lihat Muhammad Abd al-‘Adhim al-Zarqani, Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur’an, Jilid. I, (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), h. 338-339)
[35]W. Mongomery Watt, Pengantar Studi Al-Qur’an, Penyempurnaan atas Karya Richard Bell, terj. Taufiq Adnan Amal, cet. II, Rajawali Pers, Jakarta, 1995, hlm. 95
[36]Ibid., hlm. 196
[37]Dikutip dari Jalaluddin Rahmat, op. cit., h. 185
[38]Doktrin tasykhir menurut pemahaman cak Nur adalah bahwa Allah menjadikan alam ini lebih rendah dari pada manusia. Makna tasyakhkhara lakum menurutnya adalah ‘Dan Dia (Allah) merendahkan (melakukan tasykhir) bagi kamu. Dari doktrin ini dapat dipahami bahwa (1) manusia adalah puncak ciptaan Allah, maka seluruh alam berada dalam martabat yang lebih rendah dari pada manusia; (2) alam itu sendiri sebagaimana telah dikemukakan adalah untuk dapat dimanfaatkan manusia; (3) manusia harus menjadikan alam itu sebagai obyek kajiannya; (4) dengan membuat alam ini lebih rendah dari manusia, maka alam itu menjadi obyek yang terbuka bagi manusia. Oleh karena itu, perbuatan melawan martabat manusia yang paling merusak ialah jika manusia menempatkan alam atau gejala alam lebih tinggi daripada dirinya sendiri. (Lihat Dr. Nurcholish Madjid, op. cit., h. 294)
[39]Dikutip dari ibid.
More Stories
Basmalah sebagai Bagian dari Ayat al-Quran
Islam Tradisionalis dan Modernis: Telaah Historis atas Tipologi Masyarakat Islam Indonesia
Theologi Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah: Refleksi Atas Gagasan Sentral Imam Abu Hasan al-Asy’ari