Nuzulul Qur’an merupakan salah satu peristiwa paling monumental dalam sejarah peradaban Islam. Ia tidak hanya menandai awal turunnya wahyu ilahi kepada Nabi Muhammad SAW, tetapi juga menjadi titik balik perubahan sosial, spiritual, dan intelektual dalam kehidupan umat manusia. Lebih dari sekadar momen historis, Nuzulul Qur’an menyimpan nilai-nilai teologis dan filosofis yang mendalam, yang masih terus relevan hingga hari ini. Dalam artikel ini, kita akan membahas secara komprehensif makna, sejarah, proses, serta implikasi spiritual dari peristiwa agung ini berdasarkan kajian kitab Ulumul Qur’an dan literatur ilmiah internasional.
Pengertian Nuzulul Qur’an
Definisi Etimologis dan Terminologis
Secara etimologi, kata “nuzul” berasal dari bahasa Arab “nazala” (نزل) yang berarti “turun”. Sedangkan “Al-Qur’an” berasal dari kata “qara’a” (قرأ) yang berarti “membaca” atau “bacaan”. Dengan demikian, “Nuzulul Qur’an” berarti “turunnya bacaan suci” atau lebih tepatnya, turunnya wahyu dari Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW. Istilah ini merujuk pada proses awal turunnya Al-Qur’an, yang diawali dengan wahyu pertama di Gua Hira kepada Rasulullah dalam bentuk surat Al-‘Alaq ayat 1-5.
Menurut terminologi dalam ilmu Ulumul Qur’an, sebagaimana dijelaskan oleh Imam As-Suyuthi dalam kitab Al-Itqan fi Ulumil Qur’an, Nuzulul Qur’an adalah peristiwa turunnya wahyu Al-Qur’an dari Allah kepada Nabi Muhammad melalui perantara Malaikat Jibril, baik secara sekaligus maupun bertahap (munajjaman).
Perbedaan antara Tanzil dan Nuzul
Dalam kitab Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an karya Az-Zarkasyi, dijelaskan bahwa terdapat perbedaan semantik antara kata “tanzil” dan “nuzul”. “Tanzil” menunjukkan proses turunnya wahyu secara sistematis dan berulang, sedangkan “nuzul” lebih bersifat penekanan pada peristiwa awal. Oleh karena itu, Nuzulul Qur’an kerap diidentifikasi dengan turunnya lima ayat pertama dari surat Al-‘Alaq, yang menjadi titik awal pengangkatan Muhammad sebagai Rasul terakhir.
Az-Zarkasyi juga menjelaskan bahwa pemahaman terhadap istilah-istilah ini sangat penting untuk membedakan antara dimensi waktu (temporal) dan struktur turunnya wahyu (struktur konten). Tanpa pemahaman yang benar, bisa terjadi kerancuan dalam memahami sifat dan fungsi Al-Qur’an sebagai kitab samawi terakhir.
Pentingnya Pemahaman Istilah dalam Ilmu Ulumul Qur’an
Pemahaman terhadap istilah “Nuzulul Qur’an” menjadi bagian integral dari kajian Ulumul Qur’an. Menurut Manna’ Khalil Al-Qattan dalam bukunya Mabahits fi Ulumil Qur’an, istilah ini tidak hanya menjadi kajian linguistik, tetapi juga menyentuh aspek teologis, historis, dan metodologis. Di dalamnya terdapat diskursus mengenai waktu, tempat, dan metode pewahyuan yang menjadi dasar dalam memahami karakteristik Al-Qur’an secara komprehensif.
Dengan memahami makna Nuzulul Qur’an secara mendalam, umat Islam akan lebih mudah meresapi fungsi Al-Qur’an sebagai petunjuk hidup (hudan linnas), serta dapat menghindari pemahaman yang parsial dan ahistoris terhadap kitab suci.
Dalil-Dalil Tentang Nuzulul Qur’an
Rujukan dari Al-Qur’an
Al-Qur’an sendiri memberikan sejumlah petunjuk terkait proses pewahyuan. Dalam surat Al-Qadr ayat 1, Allah berfirman:
“Inna anzalnaahu fii lailatil qadr”
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam kemuliaan.” (QS. Al-Qadr: 1)
Juga dalam surat Ad-Dukhan ayat 3:
“Innaa anzalnaahu fii lailatim mubaarakah. Innaa kunnaa mundziriin.”
“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi. Sesungguhnya Kamilah yang memberi peringatan.” (QS. Ad-Dukhan: 3)
Kedua ayat ini menunjukkan bahwa terdapat momen spesifik dalam bulan Ramadhan ketika Al-Qur’an diturunkan. Meskipun ayat-ayat tersebut tidak secara eksplisit menyebut “17 Ramadhan”, para ulama menafsirkannya sebagai malam Lailatul Qadar, yang diyakini berada di 10 malam terakhir bulan Ramadhan.
Penjelasan dalam Hadis Shahih
Hadis-hadis shahih juga memperkuat informasi dari Al-Qur’an mengenai turunnya wahyu. Dalam Shahih Al-Bukhari, diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad menerima wahyu pertama ketika sedang berkhalwat di Gua Hira:
“…lalu datang Malaikat dan berkata: ‘Iqra’ (bacalah)’, Rasul menjawab, ‘Aku tidak bisa membaca.’…”
(HR. Bukhari No. 3)
Hadis ini menjelaskan detik-detik awal turunnya lima ayat pertama surat Al-‘Alaq, yang menjadi awal Nuzulul Qur’an.
Konsensus Ulama dalam Tafsir dan Ulumul Qur’an
Mayoritas ulama tafsir sepakat bahwa peristiwa Nuzulul Qur’an terjadi pada malam 17 Ramadhan tahun ke-13 sebelum Hijrah. Ibn Katsir dalam tafsirnya menyatakan bahwa peristiwa ini adalah awal dimulainya risalah kenabian Muhammad. Sementara itu, Syaikh Muhammad Abu Zahrah dalam kajian tafsir kontemporernya mengaitkan Nuzulul Qur’an dengan pergeseran struktur masyarakat Quraisy yang mulai menerima nilai-nilai tauhid setelah periode wahyu.
Proses Turunnya Al-Qur’an
Dari Lauhul Mahfuz ke Baitul ‘Izzah
Menurut Imam As-Suyuthi dalam Al-Itqan, Al-Qur’an pertama kali diturunkan secara keseluruhan dari Lauhul Mahfuz ke Baitul ‘Izzah di langit dunia. Proses ini dikenal sebagai “nuzul jumlatan wahidah” (turun sekaligus). Tujuannya adalah untuk menunjukkan kemuliaan Al-Qur’an dan sebagai bentuk persiapan spiritual sebelum diberikan kepada manusia.
Hal ini sesuai dengan penafsiran para mufassir terhadap QS. Al-Qadr: 1 dan QS. Ad-Dukhan: 3, di mana malam Lailatul Qadar dijadikan momen turunnya Al-Qur’an secara utuh ke langit dunia.
Turun Secara Bertahap (Munajjaman) kepada Nabi Muhammad SAW
Setelah itu, Al-Qur’an diturunkan secara bertahap selama 23 tahun kepada Nabi Muhammad SAW. Proses ini dikenal sebagai “nuzul munajjaman”. Turunnya wahyu secara gradual ini memiliki banyak hikmah, salah satunya adalah untuk memudahkan penghafalan dan pemahaman serta menjawab persoalan yang sedang terjadi pada masa itu.
Menurut jurnal “The Chronological Revelation of the Qur’an” yang diterbitkan oleh Journal of Qur’anic Studies, metode ini memberikan fleksibilitas dalam dakwah serta memungkinkan Rasulullah menjawab pertanyaan masyarakat secara kontekstual.
Hikmah di Balik Proses Bertahap Ini
Hikmah utama dari turunnya Al-Qur’an secara bertahap antara lain:
- Memberi ketenangan dan penguatan jiwa kepada Nabi Muhammad
- Menyesuaikan wahyu dengan dinamika sosial dan budaya Arab saat itu
- Memudahkan umat Islam memahami ajaran Al-Qur’an secara bertahap
Sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al-Furqan ayat 32:
“Dan orang-orang kafir berkata: ‘Mengapa Al-Qur’an tidak diturunkan kepadanya sekaligus saja?’ Demikianlah, supaya Kami teguhkan hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil.” (QS. Al-Furqan: 32)
Waktu dan Peristiwa Nuzulul Qur’an
Tanggal 17 Ramadhan dalam Sejarah Islam
Tanggal 17 Ramadhan menjadi salah satu momen paling dikenang dalam sejarah Islam. Pada hari inilah, menurut mayoritas ulama tafsir dan sejarah, Al-Qur’an pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas, sebagaimana dikutip dalam kitab Tafsir al-Tabari, lima ayat pertama dari surat Al-‘Alaq diturunkan pada malam tersebut, tepatnya ketika Rasulullah sedang berkhalwat di Gua Hira.
Peristiwa ini menandai awal kenabian Muhammad SAW, yang kala itu berusia 40 tahun. Momen tersebut bukan hanya menjadi titik tolak perubahan dalam kehidupan beliau, tetapi juga membawa pergeseran besar dalam peradaban dunia. Dari sistem jahiliah menuju cahaya Islam yang membawa nilai-nilai tauhid, keadilan, dan kemanusiaan.
Di berbagai negara muslim, tanggal 17 Ramadhan diperingati dengan berbagai kegiatan keagamaan seperti pengajian, tafsir Al-Qur’an, dan kajian ilmu Ulumul Qur’an. Peringatan ini menjadi ajang pengingat akan pentingnya menjadikan Al-Qur’an sebagai petunjuk hidup yang komprehensif.
Hubungan Nuzulul Qur’an dengan Lailatul Qadar
Meskipun secara eksplisit disebutkan bahwa Al-Qur’an diturunkan pada malam Lailatul Qadar (QS. Al-Qadr: 1), tetapi para ulama memiliki perbedaan pendapat mengenai apakah malam tersebut bertepatan dengan tanggal 17 Ramadhan. Mayoritas menyepakati bahwa Lailatul Qadar terjadi pada salah satu dari 10 malam terakhir Ramadhan, dan tidak secara pasti disebut tanggalnya.
Namun, ulama seperti Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari menyatakan bahwa peristiwa Nuzulul Qur’an pertama kali (turunnya lima ayat pertama surat Al-‘Alaq) terjadi pada 17 Ramadhan, sementara turunnya Al-Qur’an secara keseluruhan dari Lauhul Mahfuz ke Baitul ‘Izzah terjadi pada Lailatul Qadar.
Perbedaan ini tidak mengurangi keutamaan masing-masing malam. Justru, hal ini menunjukkan betapa luar biasanya momentum Ramadhan sebagai bulan wahyu. Sebuah bulan yang penuh keberkahan dan penuh pengetahuan, di mana umat Islam diajak untuk tidak hanya membaca tetapi juga merenungi isi kandungan Al-Qur’an.
Penjelasan Berdasarkan Kitab Ulumul Qur’an (Contoh: Al-Burhan li Az-Zarkasyi)
Kitab Al-Burhan fi Ulumil Qur’an karya Imam Badruddin Az-Zarkasyi menjadi salah satu rujukan penting dalam membahas Nuzulul Qur’an. Dalam bab tentang “Masa Turunnya Al-Qur’an”, Az-Zarkasyi menyebut bahwa Al-Qur’an diturunkan dalam dua fase utama: fase pertama adalah keseluruhan mushaf ke Baitul ‘Izzah, dan fase kedua adalah turunnya ayat demi ayat sesuai kebutuhan dakwah dan kondisi umat Islam.
Az-Zarkasyi juga mencatat bahwa malam Lailatul Qadar adalah malam “nuzul kulli”, sedangkan malam 17 Ramadhan merupakan awal turunnya ayat secara “nuzul juz’i”. Pendekatan sistematik ini memberikan kejelasan kepada para pembelajar bahwa Nuzulul Qur’an bukan hanya satu momen, melainkan terdiri dari rangkaian peristiwa yang memiliki hikmah berbeda.
Hal ini juga ditegaskan dalam buku Mabahits fi Ulumil Qur’an oleh Manna’ Khalil Al-Qattan, yang menyebutkan bahwa pemahaman kronologi dan hikmah turunnya Al-Qur’an sangat penting dalam memahami konteks sosial dan politik di zaman Rasulullah SAW. Dengan mengetahui sebab dan waktu turunnya ayat (asbabun nuzul), umat Islam akan lebih bijak dalam mengamalkan isinya secara kontekstual.
Makna Spiritual dan Filosofis Nuzulul Qur’an
Momentum Introspeksi dan Tadabbur
Nuzulul Qur’an bukan sekadar momen sejarah. Ia adalah panggilan ilahi kepada setiap Muslim untuk melakukan introspeksi mendalam: sudah sejauh mana kita menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari? Peristiwa ini memberikan kesempatan untuk meninjau ulang kualitas iman, ibadah, dan amal kita terhadap nilai-nilai Qur’ani.
Bulan Ramadhan secara umum, dan malam Nuzulul Qur’an secara khusus, merupakan waktu terbaik untuk memperbanyak tadabbur (merenungi makna ayat). Allah berfirman:
“Afalaa yatadabbaruunal Qur’aan…”
“Maka apakah mereka tidak merenungkan Al-Qur’an…” (QS. An-Nisa’: 82)
Introspeksi ini tidak hanya bersifat personal, tetapi juga sosial. Umat Islam diajak untuk merefleksikan bagaimana Al-Qur’an bisa menjadi solusi atas berbagai krisis moral, ekonomi, dan politik yang melanda masyarakat hari ini. Al-Qur’an bukan sekadar bacaan liturgis, melainkan sumber inspirasi yang transformatif.
Penguatan Hubungan Hamba dengan Allah
Turunnya Al-Qur’an adalah wujud kasih sayang Allah kepada manusia. Ia adalah bentuk komunikasi antara Khalik dengan makhluk. Melalui wahyu ini, Allah menyampaikan pesan-pesan cinta, peringatan, serta petunjuk agar umat manusia tidak tersesat dalam kehidupan dunia.
Dalam jurnal Qur’anic Hermeneutics and Spirituality yang diterbitkan oleh Islamic Studies Review, dijelaskan bahwa pengalaman spiritual membaca Al-Qur’an berulang kali mampu membangun “ikatan transendental” antara hamba dan Tuhan. Hubungan ini tercermin dalam ketenangan hati, peningkatan kualitas ibadah, dan kemampuan dalam menghadapi ujian hidup.
Nuzulul Qur’an menjadi momentum untuk memperkuat kembali relasi ruhani tersebut. Dengan memperbanyak tilawah, tafsir, dan pengamalan Al-Qur’an selama Ramadhan, seorang Muslim dapat merasakan kedekatan spiritual yang lebih dalam dengan Rabb-nya.
Refleksi terhadap Fungsi Al-Qur’an sebagai Petunjuk (Hudan)
Al-Qur’an adalah hudan (petunjuk), sebagaimana ditegaskan dalam QS. Al-Baqarah: 2:
“Dzalikal Kitaabu laa raiba fiih, hudal lil muttaqiin”
“Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan di dalamnya; sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.”
Nuzulul Qur’an mengingatkan kita bahwa fungsi utama kitab suci ini bukan untuk disimpan atau hanya dilantunkan dalam acara seremonial. Ia adalah manual kehidupan, panduan etika, dan sumber nilai. Dalam konteks kekinian, petunjuk Al-Qur’an sangat dibutuhkan sebagai panduan moralitas dalam dunia yang semakin kompleks.
Apakah kita benar-benar menjadikan Al-Qur’an sebagai rujukan dalam menyelesaikan masalah keluarga, pendidikan, bisnis, atau bahkan politik? Jika belum, maka momen Nuzulul Qur’an adalah waktu yang tepat untuk mulai menjadikan wahyu ini sebagai pedoman hidup sejati.
Peran Ulama dan Ilmu Ulumul Qur’an dalam Memahami Nuzulul Qur’an
Kontribusi Ulama Klasik dalam Memetakan Kronologi Wahyu
Para ulama klasik memiliki kontribusi besar dalam menyusun dan menjelaskan proses kronologis turunnya wahyu. Imam Al-Suyuthi dalam Al-Itqan fi Ulumil Qur’an misalnya, menyusun daftar ayat dan surat berdasarkan urutan turunnya, yang membantu para mufassir memahami konteks pewahyuan. Al-Suyuthi bahkan mengklasifikasikan wahyu ke dalam periode Makkah dan Madinah dengan argumentasi yang rinci.
Az-Zarkasyi, sebagaimana disebut dalam Al-Burhan, memperluas pembahasan ini dengan menjelaskan sebab-sebab turunnya ayat (asbabun nuzul), perbedaan ayat makkiyah dan madaniyah, serta struktur linguistik Al-Qur’an. Karya-karya ini menjadi fondasi penting dalam ilmu tafsir, fiqih, bahkan ushuluddin.
Upaya ulama tersebut tidak hanya mendokumentasikan sejarah, tetapi juga menegaskan bahwa wahyu bukan sesuatu yang turun secara acak, melainkan melalui proses yang terencana, sistematis, dan penuh hikmah. Tanpa dedikasi mereka, kita tidak akan dapat memahami esensi Nuzulul Qur’an secara mendalam hari ini.
Peran Ilmu Ulumul Qur’an dalam Konteks Modern
Dalam konteks modern, ilmu Ulumul Qur’an menjadi alat penting untuk menjawab tantangan zaman. Penafsiran berbasis maqashid (tujuan syariah), pendekatan hermeneutik, hingga metode tafsir tematik (maudhu’i) menjadi wujud perkembangan disiplin ini. Para cendekiawan seperti Fazlur Rahman, Muhammad Arkoun, dan M. Quraish Shihab telah memperkenalkan pendekatan baru untuk membumikan pesan Qur’ani dalam ranah kehidupan kontemporer.
Ilmu ini juga digunakan untuk membedah isu-isu kontemporer seperti pluralisme, gender, lingkungan, dan hak asasi manusia. Melalui pendekatan ini, Nuzulul Qur’an tidak lagi dipahami hanya sebagai peristiwa masa lalu, melainkan sebagai fenomena yang terus hidup dan membentuk arah pemikiran Islam hari ini.
Menurut jurnal Studies in Islam and the Middle East, pemahaman kritis terhadap proses pewahyuan dapat memperkuat posisi Al-Qur’an sebagai teks transenden sekaligus relevan dengan realitas sosial umat.
Peringatan Nuzulul Qur’an di Berbagai Negara Muslim
Tradisi di Indonesia dan Asia Tenggara
Di Indonesia, Nuzulul Qur’an diperingati secara luas, terutama pada malam 17 Ramadhan. Masjid-masjid menggelar pengajian, khataman Qur’an, hingga tabligh akbar. Pemerintah, melalui Kementerian Agama, juga sering menyelenggarakan acara resmi dengan menghadirkan para ulama dan qari nasional.
Peringatan ini bukan hanya tradisi keagamaan, tetapi juga bentuk pembelajaran sosial dan kultural tentang pentingnya wahyu. Pesan-pesan moral seperti kejujuran, kepedulian sosial, dan keadilan sering kali menjadi tema utama dalam ceramah atau kajian.
Di Malaysia dan Brunei, tradisi ini juga dirayakan dengan penuh khidmat, di mana sekolah dan lembaga pendidikan agama mengadakan lomba hafalan dan tafsir Al-Qur’an, memperkuat ikatan spiritual antara generasi muda dan kitab suci.
Peringatan Nuzulul Qur’an di Negara-Negara Timur Tengah
Di Timur Tengah, seperti Mesir, Arab Saudi, dan Yordania, peringatan Nuzulul Qur’an tidak selalu dirayakan secara khusus pada 17 Ramadhan, tetapi lebih difokuskan pada 10 malam terakhir Ramadhan secara umum. Di masjid-masjid besar seperti Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, pelaksanaan qiyamul lail, khataman Al-Qur’an, dan tafsir tematik menjadi bagian dari rutinitas ibadah Ramadhan.
Negara seperti Iran memiliki cara yang sedikit berbeda. Mereka menekankan pada unsur keilmuan dan studi tafsir di malam-malam penuh berkah tersebut. Diskusi-diskusi akademik di lembaga pendidikan Islam berlangsung intensif, memperkuat nilai Nuzulul Qur’an dalam konteks pemikiran dan filsafat Islam.
Kesalahan Umum dalam Memahami Nuzulul Qur’an
Menganggap Nuzulul Qur’an sebagai Perayaan Seremonial Saja
Salah satu kesalahan umum yang sering terjadi di masyarakat adalah memaknai Nuzulul Qur’an hanya sebagai ajang seremonial tahunan. Banyak yang terjebak dalam euforia peringatan semata, namun tidak benar-benar memahami makna esensial dari turunnya wahyu.
Nuzulul Qur’an seharusnya menjadi momentum tahunan untuk memperbarui komitmen terhadap isi Al-Qur’an. Ini bukan waktu untuk sekadar menghafal, tetapi juga memahami dan mengimplementasikan ajarannya dalam kehidupan nyata. Rasulullah sendiri sangat menekankan pentingnya memahami dan mengamalkan Al-Qur’an, bukan hanya membacanya.
Kurangnya Pemahaman terhadap Sejarah Pewahyuan
Kesalahan lainnya adalah minimnya pemahaman terhadap sejarah pewahyuan. Banyak yang tidak mengetahui bahwa Al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus, melainkan secara bertahap selama 23 tahun. Tanpa memahami aspek ini, seseorang akan kesulitan menangkap konteks sosial dan spiritual dari setiap ayat.
Oleh karena itu, pendidikan mengenai Ulumul Qur’an harus diperkuat, tidak hanya di kalangan santri dan akademisi, tetapi juga di masyarakat umum. Tafsir kontekstual harus diajarkan sejak dini agar generasi Muslim memahami Al-Qur’an bukan sebagai dokumen sejarah, tetapi sebagai panduan hidup yang dinamis.
Menghidupkan Semangat Nuzulul Qur’an dalam Kehidupan Sehari-Hari
Menjadikan Al-Qur’an sebagai Sumber Etika dan Perilaku
Menghidupkan semangat Nuzulul Qur’an artinya mengintegrasikan nilai-nilai Qur’ani dalam setiap aspek kehidupan. Dalam bisnis, seorang Muslim dituntut untuk jujur, amanah, dan adil. Dalam hubungan sosial, Islam mengajarkan toleransi, kasih sayang, dan keadilan. Dalam keluarga, Al-Qur’an memerintahkan orang tua untuk bersikap sabar dan mendidik anak-anaknya dengan nilai-nilai iman.
Semua itu bersumber dari petunjuk ilahi yang turun di bulan Ramadhan. Oleh karena itu, menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber etika tidak cukup hanya dengan memajangnya di rumah, tetapi harus dibaca, dipelajari, dan diamalkan.
Menggalakkan Tadabbur dan Kegiatan Qur’ani Sepanjang Tahun
Nuzulul Qur’an bukan momen satu malam. Semangatnya harus dibawa sepanjang tahun. Kegiatan tadabbur, halaqah Qur’an, dan pembelajaran tafsir harus menjadi agenda rutin, bukan musiman. Dengan cara ini, cahaya wahyu akan terus menerangi setiap sudut kehidupan umat Islam.
Kesimpulan
Nuzulul Qur’an bukan hanya sebuah peringatan, melainkan panggilan jiwa untuk kembali kepada fitrah sebagai hamba Allah yang taat kepada petunjuk-Nya. Peristiwa turunnya wahyu pertama kepada Nabi Muhammad SAW adalah awal dari perubahan besar dalam sejarah manusia. Dengan memahami makna, proses, dan hikmah Nuzulul Qur’an melalui pendekatan Ulumul Qur’an, kita tidak hanya mengenang masa lalu tetapi juga membangun masa depan yang Qur’ani.
Melalui refleksi spiritual, penguatan hubungan vertikal dengan Allah, serta pengamalan nilai-nilai Qur’ani dalam kehidupan sehari-hari, kita dapat menghidupkan kembali semangat Nuzulul Qur’an. Saatnya menjadikan Al-Qur’an sebagai “GPS kehidupan”—bukan hanya dibaca, tapi juga dijalani (Mohammad Nor Ichwan).
More Stories
Al-Qur’an Turun dalam Tujuh Huruf: Analisis Konseptual dan Historis dalam Perspektif Ulumul Qur’an
Asbab al-Nuzul: Latar Historis Turunnya Ayat al-Qur’an
Dari Iqra’ ke Penutup Wahyu: Analisis Mendalam Ayat Pertama dan Terakhir Al-Qur’an