August 11, 2025

PROGRAM MAGISTER ILMU AL-QUR'AN DAN TAFSIR

Fakultas Ushuluddin dan Humaniora UIN Walisongo Semarang

Menelusuri Rahmat Ilahi: Tafsir Integratif Surat Al-Fātiḥah Ayat 3 Perspektif Tafsir Ichwani

Dalam kehidupan sehari-hari, manusia selalu membutuhkan sesuatu yang menjadi penenang, penghibur, sekaligus sandaran saat lelah menghadapi realitas. Dalam agama Islam, ketenangan spiritual itu hadir lewat hubungan yang erat dengan Allah ﷻ. Salah satu bentuk pendekatan yang paling esensial dalam relasi ini adalah memahami sifat-sifat Allah yang termaktub dalam Al-Qur’an. Salah satu sifat paling menonjol dan paling sering diulang adalah “rahmat” — kasih sayang-Nya yang meliputi segala sesuatu. Dua nama Allah yang menyiratkan sifat rahmat-Nya disebutkan secara eksplisit dan berurutan dalam Al-Fātiḥah ayat ke‑3: “Ar-Raḥmān ar-Raḥīm”.

Ayat ini bukan hanya lanjutan dari pujian dalam ayat sebelumnya (“Rabb al-‘Ālamīn”), tapi juga fondasi teologis yang menanamkan pengertian bahwa Allah adalah Dzat Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Ia tidak hanya mengatur dan menguasai seluruh alam, tapi melakukannya dengan kasih sayang yang tanpa batas. Untuk itu, pendekatan tafsir Ichwani—sebuah metode integratif yang menggabungkan analisis linguistik, tafsir klasik, pemikiran kontekstual, serta dimensi sosial dan historis—menjadi pilihan tepat untuk menggali makna ayat ini secara menyeluruh.


Langkah 1: Analisis Bahasa (Tafsir Lughawi)

Jika kita telusuri lebih dalam, kata “ar-Raḥmān” dan “ar-Raḥīm” sama-sama berasal dari akar kata yang sama, yaitu raḥima (ر ح م), yang berarti kasih sayang, kelembutan, atau rasa iba. Namun, penggunaan dua bentuk ini secara bersamaan di ayat yang sama bukanlah pengulangan yang sia-sia. Bahasa Arab sangat kaya dalam nuansa, dan setiap bentuk morfologis memberikan lapisan makna tambahan yang mendalam.

Ar-Raḥmān, dalam bentuk wazan faʿlān, mengindikasikan sifat yang melimpah dan menyeluruh. Ini adalah jenis rahmat yang tidak mengenal batas: ia mencakup semua makhluk—manusia, hewan, bahkan yang kafir sekalipun. Rahmat Allah sebagai Ar-Raḥmān adalah kasih sayang yang bersifat universal.

Sedangkan ar-Raḥīm, dalam bentuk faʿīl, menggambarkan sifat kasih sayang yang berkelanjutan dan mendalam, namun bersifat khusus. Rahmat ini ditujukan bagi hamba-hamba-Nya yang beriman dan taat. Ia bukan sekadar melimpah, tapi juga bersifat intens dan berkesinambungan. Maka, jika Ar-Raḥmān adalah lautan rahmat tanpa batas, maka ar-Raḥīm adalah sungai yang terus mengalir memberi kehidupan pada jiwa yang berserah.

Perpaduan dua kata ini menunjukkan kesempurnaan kasih sayang Allah. Ia tidak hanya menyayangi seluruh makhluk secara umum, tetapi juga memberikan perhatian khusus yang mendalam kepada mereka yang berada di jalan-Nya. Dalam susunan linguistiknya, posisi ayat ini pasca “Rabb al-‘Ālamīn” menjadi penguat bahwa meski Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, namun kekuasaan-Nya tidak disertai kekejaman, melainkan dibalut dengan cinta kasih.


Langkah 2: Analisis Tafsir Klasik (Tafsir Bil Ma’tsur)

Dalam khazanah tafsir klasik, ayat ini banyak mendapatkan sorotan dari para ulama besar. Ibnu Kathīr, salah satu mufassir terkemuka, menjelaskan bahwa kedua nama ini digunakan secara berurutan untuk memberikan keseimbangan antara khauf (rasa takut) dan rajā’ (pengharapan). Setelah menyebut Allah sebagai “Rabb al-‘Ālamīn”—yang dapat saja dipahami sebagai bentuk kekuasaan mutlak—Allah segera menyebut diri-Nya dengan dua nama rahmat agar manusia tidak merasa gentar atau menjauh, melainkan mendekat dan merindukan kasih-Nya.

Al-Qurṭubī, dalam tafsirnya yang sangat detail, menjelaskan bahwa “Ar-Raḥmān” digunakan untuk menunjukkan rahmat Allah yang mencakup seluruh umat manusia dan makhluk, sedangkan “ar-Raḥīm” ditujukan khusus bagi orang-orang mukmin di akhirat. Dengan kata lain, ada dimensi waktu yang juga dibedakan oleh para mufassir klasik: Ar-Raḥmān untuk dunia, dan ar-Raḥīm untuk akhirat.

Al-Ṭabarī, mufassir awal abad ke-3 H, menyebutkan bahwa para sahabat seperti Ibn ‘Abbās dan Mujāhid menafsirkan “ar-Raḥmān” sebagai nama khusus bagi Allah yang tidak boleh digunakan oleh siapa pun, sedang “ar-Raḥīm” bisa digunakan dalam bentuk nama manusia (seperti ‘Abdur-Raḥīm). Ini menunjukkan kesakralan kata tersebut, sekaligus penegasan bahwa rahmat Allah adalah sesuatu yang tak tertandingi.


Langkah 3: Analisis Tafsir Kontemporer dan Kontekstual (Tafsir Bil Ra’yi)

Di era modern, para mufassir kontemporer melihat ayat ini dalam kerangka hubungan sosial, psikologi spiritual, dan respons terhadap tantangan zaman. Muḥammad Ṭāhir Ibn ‘Āshūr, seorang mufassir dari Tunisia, menyebut bahwa penyebutan dua nama rahmat ini bukan hanya retoris, melainkan strategis: menciptakan suasana batin yang kondusif bagi hamba dalam berinteraksi dengan Allah. Dalam konteks doa, seorang hamba lebih cenderung terbuka dan tulus jika diawali dengan pemahaman bahwa Tuhan yang ditujunya penuh cinta dan kelembutan, bukan sekadar hakim yang keras.

Di Indonesia, ulama seperti Quraish Shihab melalui Tafsir Al-Mishbah menekankan pentingnya memahami ar-Raḥmān dan ar-Raḥīm bukan sebagai pengulangan, tapi penegasan. Dalam bahasa Quraish Shihab, ar-Raḥmān adalah kasih sayang yang meliputi bahkan kepada yang membangkang, sementara ar-Raḥīm adalah kasih sayang yang tidak pernah meninggalkan orang-orang yang taat. Ini menjadi relevan di zaman modern, ketika banyak orang merasa terasing dari Tuhan akibat dosa atau keputusasaan. Ayat ini datang sebagai pelukan spiritual dari Tuhan yang selalu membuka pintu-Nya.


Langkah 4: Memahami Latar Belakang Ayat (Asbāb al-Nuzūl)

Secara khusus, Surat Al-Fātiḥah memang tidak memiliki asbāb al-nuzūl atau sebab turunnya ayat secara eksplisit seperti surat-surat lainnya. Namun, banyak ulama yang memahami konteks umum dari penurunan surat ini. Surat ini termasuk kategori Makkiyah, turun di masa-masa awal kenabian ketika umat Islam masih dalam fase pembentukan identitas dan spiritualitas.

Dalam masa itu, Allah menyampaikan ayat ini untuk menghibur Rasulullah ﷺ dan para sahabat yang menghadapi tekanan dan cemoohan. Penyebutan nama-nama Allah yang penuh kasih sayang menjadi bentuk penguatan jiwa. Bahwa meskipun mereka menghadapi ujian berat, Tuhan yang mereka sembah adalah Tuhan yang penuh cinta dan pengampunan. Ini memberikan kekuatan mental luar biasa untuk tetap teguh dalam perjuangan.


Langkah 5: Analisis Sosio-Historis Kontemporer

Ketika kita melihat masyarakat modern, khususnya umat Islam Indonesia yang hidup di tengah pluralitas keyakinan dan sistem sosial yang kompleks, dua nama Allah ini menawarkan nilai universal yang sangat relevan. “Ar-Raḥmān” mengajak kita untuk melihat semua manusia sebagai objek kasih sayang Tuhan. Maka, tidak pantas ada kekerasan, diskriminasi, atau kebencian atas nama agama terhadap sesama manusia. Semua adalah ciptaan-Nya, dan semua layak diperlakukan dengan hormat dan kasih.

“Ar-Raḥīm” di sisi lain, memberikan arahan internal bagi umat Islam: bahwa keberpihakan Allah terhadap kaum beriman harus diteladani dalam bentuk empati dan dukungan pada sesama muslim, terutama mereka yang tertindas atau kekurangan. Dalam konteks kemiskinan, ketidakadilan, dan konflik, dua nama ini seharusnya menjadi dasar gerakan sosial Islam yang penuh cinta, bukan sekadar retorika ibadah individual.


Langkah 6: Penafsiran Tematik (Tafsir Mawḍū‘iy)

Untuk menggali kedalaman makna dari ayat ini secara tematik, pendekatan tafsir mawḍū‘iy sangat tepat. Dalam metode ini, kita tidak hanya fokus pada satu ayat, tetapi menghubungkannya dengan ayat-ayat lain yang mengandung lafaz serupa, dalam hal ini adalah tema rahmat Allah.

Dalam Al-Qur’an, nama Ar-Raḥmān dan Ar-Raḥīm muncul berkali-kali dengan konteks yang beragam. Misalnya, pada Surat Maryam ayat 85–96, Allah digambarkan sebagai Ar-Raḥmān yang menciptakan dan membimbing manusia dengan penuh kelembutan. Dalam Surat al-Isrā’ ayat 110, ditegaskan bahwa nama-nama tersebut saling melengkapi: “Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana pun kamu menyeru, Dia memiliki al-asmā’ al-ḥusnā (nama-nama terbaik).”

Jika dirangkum secara tematik, rahmat Allah dalam Al-Qur’an terbagi dalam tiga dimensi besar:

  1. Rahmat Eksistensial: menciptakan segala sesuatu dengan rahmat-Nya (QS. Al-Anbiyā’: 107 – “Kami tidak mengutusmu, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam.”).
  2. Rahmat Legislatif: hukum-hukum dan syariat Islam diturunkan sebagai bentuk kasih sayang, bukan pembatasan (QS. An-Nūr: 20).
  3. Rahmat Eskatologis: rahmat Allah di akhirat diperuntukkan bagi mereka yang beriman dan bertakwa (QS. Al-Kahf: 107).

Dengan menelusuri tema rahmat dalam Al-Qur’an secara menyeluruh, kita dapat memahami bahwa Ar-Raḥmān dan Ar-Raḥīm bukan sekadar dua nama yang indah, tapi merupakan manifestasi dari sistem nilai Ilahi yang mendasari keseluruhan ajaran Islam: cinta kasih, pengampunan, dan harapan.


Langkah 7: Menilai Sesuai dengan Maqāṣid al-Sharī‘ah

Dalam kerangka maqāṣid al-sharī‘ah—tujuan-tujuan utama syariat—makna “ar-Raḥmān ar-Raḥīm” sangat terkait dengan misi utama Islam sebagai agama yang membawa rahmat, perlindungan, dan kesejahteraan bagi umat manusia.

Lima maqāṣid utama dalam hukum Islam adalah:

  1. Hifẓ ad-dīn (menjaga agama)
  2. Hifẓ an-nafs (menjaga jiwa)
  3. Hifẓ al-‘aql (menjaga akal)
  4. Hifẓ an-nasl (menjaga keturunan)
  5. Hifẓ al-māl (menjaga harta)

Nama-nama “Ar-Raḥmān” dan “Ar-Raḥīm” secara intrinsik mendukung kelima tujuan ini. Misalnya:

  • Dalam menjaga jiwa, Allah menetapkan hukum qishāṣ sebagai bentuk rahmat (QS. Al-Baqarah: 179).
  • Dalam menjaga akal, Allah mengharamkan khamr, sebagai wujud kasih sayang agar manusia tidak merusak potensi intelektualnya (QS. Al-Mā’idah: 90).
  • Dalam menjaga agama, Allah menurunkan wahyu bukan untuk menyulitkan (QS. Al-Baqarah: 185), tetapi sebagai rahmat dan petunjuk.

Dengan demikian, memahami ayat ini dalam konteks maqāṣid menuntun kita pada kesimpulan bahwa setiap perintah dan larangan dalam Islam tidak lain adalah bentuk nyata dari kasih sayang Allah kepada makhluk-Nya.


Langkah 8: Tajdīd (Pembaharuan) dan Iṣlāḥ (Reformasi)

Memahami ayat ini dalam kerangka tajdīd dan iṣlāḥ berarti menggali relevansinya dalam menjawab tantangan zaman modern. Dalam banyak kasus, pemahaman yang sempit tentang Allah sebagai Zat yang “hanya menghukum” menjauhkan manusia dari spiritualitas Islam yang penuh kasih.

Ayat ini dapat dijadikan dasar bagi gerakan pembaharuan pemahaman Tuhan dalam Islam. Allah bukan hanya al-Jabbār (Maha Perkasa), tapi terlebih dahulu adalah Ar-Raḥmān dan Ar-Raḥīm. Ini adalah pesan untuk menjauhi ekstremisme dan radikalisme yang mengatasnamakan agama tapi justru menciderai nilai rahmat.

Islāḥ dalam bidang sosial juga bisa dibangun dengan spirit ayat ini. Misalnya:

  • Dalam pendidikan Islam, penekanan pada nilai kasih sayang seharusnya lebih dominan daripada hukuman.
  • Dalam politik Islam, pemimpin ideal adalah yang meneladani sifat Ar-Raḥmān—pengayom semua rakyat, dan Ar-Raḥīm—peduli secara khusus terhadap yang miskin dan terpinggirkan.

Reformasi nilai spiritual menuju Islam yang rahmatan lil ‘ālamīn harus dimulai dari pemaknaan dua nama ini dalam tataran praksis kehidupan umat.


Langkah 9: Kesimpulan Integratif (Metode Tafsir Ichwani)

Setelah melalui berbagai pendekatan—bahasa, tafsir klasik, tafsir kontekstual, asbāb al-nuzūl, analisis sosial, tematik, maqāṣid, hingga tajdīd—tibalah saatnya kita merangkumnya dengan metode tafsir Ichwani, yaitu metode integratif yang bersifat inklusif dan moderat, memadukan semua pendekatan untuk menghasilkan tafsir yang menyeluruh dan membumi.

Ayat “ar-Raḥmān ar-Raḥīm” bukan sekadar pujian indah kepada Allah, melainkan sebuah ideologi rahmat yang menjadi fondasi keislaman dan kemanusiaan. Di satu sisi, ia menyadarkan kita akan ketergantungan kepada kasih Tuhan, dan di sisi lain, menuntut kita menjadi perpanjangan rahmat itu dalam kehidupan sosial.

Tafsir Ichwani melihat bahwa makna rahmat dalam ayat ini tidak bisa dilepaskan dari dinamika umat manusia. Ia membentuk cara berpikir, cara hidup, hingga cara beragama. Dengan semangat ini, Islam hadir bukan sebagai ancaman, tetapi sebagai pelukan kasih Tuhan bagi dunia.


Penutup

Tafsir ini menunjukkan bahwa dua nama Allah: Ar-Raḥmān dan Ar-Raḥīm, menyimpan kekuatan teologis, sosiologis, dan spiritual yang luar biasa. Dari sekadar nama, ia berkembang menjadi doktrin, lalu menjadi inspirasi tindakan. Rahmat Allah adalah titik awal, jalur perjalanan, dan tujuan akhir dari seluruh pengalaman religius manusia.