April 18, 2024

PROGRAM MAGISTER ILMU AL-QUR'AN DAN TAFSIR

Fakultas Ushuluddin dan Humaniora UIN Walisongo Semarang

Memahami Agama Melalui Pendekatan Sosiologis (Konsep Emile Durkheim tentang Masyarakat sebagai Jiwa Agama)

Mohammad Nor Ichwan. Nama Emile Durkheim, bisa jadi tidaklah semashur nama-nama seperti Frued, Karl Mark, E.B. Tylor, dan tokoh pemikir Eropa lainnya. Namun demikian, namanya mencuat dengan konsep sosiologisnya. Ia bisa dibilang sebagai orang pertama yang menyinggung masalah ini – meskipun ia bukanlah orang yang pertama kali memakai kata itu – dalam berbagai pola pemikirannya. Durkheim – yang lahir di kota Epinal pada tahun 1858, Perancis – berusaha memperjuangkan arti pokok masyarakat untuk memahami pemikiran dan perilaku manusia secara keseluruhan, tidak saja masalah agama, tapi juga sains, filsafat, sejarah, etika, pendidikan, politik, dan psikologi. Atau dengan kata lain, bahwa ia berusaha melihat seluruh aspek kehidupan manusia melalui kacamata sosial.

Pandangan-pandangan dan ide-idenya tentang sosiologis dapat dilihat dari berbagai karyanya, di antaranya The Division of Labor (1893); The Rules of Sosiological Method (1895); juga dalam Suicid (1897). Ide-idenya tersebut ternyata mampu memberikan pengaruh yang sangat kuat, sehingga ilmu sosial memiliki tempat yang terkemuka dalam kehidupan modern, seperti dalam pemerintahan, ekonomi, pendidikan, dan sebagainya.

Secara lebih khusus, Durkheim juga  terdorong untuk melihat persoalan-persoalan yang sangat kuno tentang perilaku dan kepercayaan agama. Pertanyaan yang muncul dalam benaknya tentang agama sangatlah mendasar, yaitu apa itu agama?; Mengapa ia begitu penting dan sentral dalam urusan manusia?; Apa arti agama bagi individu dan masyarakat?

Untuk menjawab berbagai pertanyaan tersebut, Durkheim mengadakan penelitian dan penjelajahan tentang peran agama dalam kehidupam sosial. Setelah hampir satu dasawarsa, diterbitkanlah bukunya yang terpenting dan paling terkenal, yaitu  The Elementary Forms of the Religious Life ( Bentuk-bentuk Dasar Kehidupan Beragama) pada 1912.

A. Pemikiran Sosiologis Emile Durkheim

Sekalipun Durkheim bukanlah orang yang pertama kali menemukan dan memakai term sosiologi, ditangannyalah peran sosial menjadi sangat penting. Pemikirannya merupakan kelanjutan dari pemikir-pemikir perancis sebelumnya, seperti Baron de Montesque – seorang filusuf Perancis abad ke 18 M yang mempunyai perhatian besar terhadap kebudayaan dan institusi politik Eropa. Durkhem juga banyak membaca tulisan-tulisan Comte de Saint-Simon, seorang pemikir sosialis pada awal tahun 1800-an yang percaya bahwa kepemilikian pribadi seharusnya diberikan kepada negara. Secara lebih khusus, ia terkesan pada pemikir Perancis  awal abad ke-19 M, seperti August Comte (1798-1857).

Disamping pemikiran Durkheim dipengaruhi oleh beberapa pemikir sebagaimana yang telah disebutkan, – dan tanpa menafikan pemikir-pemikir Perancis lainnya, seperti Bibel Ernest, Numo Denys Fustel de Coulanges –  lingkungan kehidupan Perancis modern juga ikut menyumbangkan pengaruh yang sangat besar terhadap pemikirannya. Meskipun demikian, ia berusaha membangun perspektifnya sendiri tentang sosiologi.

Dalam bukunya yang pertama, The Division of Labor, Durkheim hendak menunjukkan bahwa banyak orang sering mengabaikan prinsip-prinsip fundamental sosiologi, yang menurutnya sepenuhnya ilmiah, seperti (1) bahwa sifat masyarakat adalah subyek yang paling cocok dan menjanjikan bagi investasi yang sistematik, terutama dalam sejarah pada keadaan sekarang; dan (2) bahwa semua ‘fakta sosial’ harus diinvestigasi dengan metode-metode ilmiah yang paling objektif. Dua hal ini yang sering tidak diamati oleh para pendahulunya. Padahal, menurutnya lebih lanjut, kehidupan sosial telah membentuk ciri yang paling fundamental dari kebudayaan manusia.

Durkheim mengakui bahwa masyarakat bisa jadi lahir dari adanya ‘kontrak sosial’, yaitu adanya dua orang individu yang membuat persetujuan untuk berkerjasama. Namun, fakta sejarah manusia tidak pernah menunjukkan demikian. Bahkan, pada masa prasejarah, indivisu-individu selalu pertama-tama terlahir ke dalam kelompok – keluarga, klan, suku, bangsa – dan dibesarkan dalam konteks tersebut.

Demikian juga dengan konsep kepemilikan pribadi, yang menurut pendahulunya dianggap telah berkembang secara individual. Atau dengan kata lain, bahwa ide tentang hak pribadi untuk memiliki barang tertentu atau sebidang tanah, muncul sebagai perluasan dari individu-individu. Menurut Durkheim, bahwa pendapat yang demikian itu tidak didukung oleh fakta sejarah. Sebab – menurutnya lebih lanjut – kepemilikan pertama tidak bersifat individual, tetapi bersifat komunal. dimuali dengan tanah suci yang oleh orang-orang awal tidak dianggap sebagai milik pendeta atau seorang yang lain, tetapi miliki seluruh anggota suku. Dengan demikian, solidaritas sosial selalu utama.

 Menurut pengamatan Durkheim bahwa perbedaan utama antara masyarakat kuno dengan masyarakat modern berkaitan dengan cara dimana mereka mencoba untuk mencapai kesatuan mereka. Studi tentang kode legal, misalnya, menunjukkan bahwa komunitas awal cenderung bersabdar pada ‘solidaritas mekanik’. Perilaku yang baik diperoleh dengan memberikan hukuman kepada setiap orang yang melanggar kode moral kelompok. Hal ini sangat berbeda sekali dengan zaman modern, yang cenderung mengambil alih kepada ‘solidaritas organik’. Hal ini dikarenakan adanya pembagian kerja yang setiap orang cenderung melakukan hal-hal yang berbeda pula. Artinya bahwa komitmen moral berkembang di jalan yang lain. Penegakan hukuman lebih bersifat internal. Suatu perbuatan salah yang dilakukan oleh seseorang harus dilihat sebagai hal yang merusakkan orang lain, kepada siapa orang itu bergantung.

Masyarakat kuno juga memiliki ‘hati nurani kolektif’ yang luas dan kuat, di dalamnya ada kesepakatan serupa tentang yang benar dan yang salah di hampir semua urusan perilaku manusia. Sebaliknya, masyarakat modern ditandai dengan moral individualisme, maka hati nurani kolektif jangkauannya lebih kecil. Hal ini karena mereka mengakui keanekaragaman individual dan kebebasan pribadi yang lebih banyak.

B. Bidang Sosiologi sebagai Kajian Ilmiah

 Dalam bukunya yang lain, The Rules of Sosiological Method (1895), Durkheim ingin menunjukkan bahwa sosiologi harus dikejar sebagai sains independen yang bersifat objektif. Bahkan ia berani mengklaim bahwa hanya sosiologi yang sepenuhnya ilmiah, yang dapat membantu orang memahami segala yang ada di dunia. Ia berusaha mengkaji konsepsinya tentang masyarakat dengan visi yang berbeda dengan pendahulunya, seperti Montesquieu, Alexis de Tocqueville, dan August Comte, yang kajiannya lebih bersifat historis tradisional.

Durkheim berusaha memikirkan masyarakat menurut cara yang serupa dengan Tylor dan para antropolog Inggris ketika berbicara tentang ‘kebudayaan’, yang kemudian membahasnya lebih jauh. Ia menegaskan bahwa fakta-fakta sosial, tak kurang dari batu dan kulit kerang, merupakan sekumpulan fakta-fakta – bahasa, hukum, adat kebiasaan, ide-ide, nilai, tradisi, teknik, dan produksi – semua ini berhubungan satu sama lain dan berada dalam cara yang betul-betul ‘eksternal’ bagi pikiran manusia individual. Jika betul-betul ada fakta sosial di sekitar kita yang independen dan riil semacam itu, maka harus ada suatu disiplin ilmiah tertentu yang dipersembahkan untuk mempelajari mereka.

Kita tidak dapat menjkelaskan masyarakat jika kita hanya melihat pada biologi dan psikologi atau bahkan ilmu ekonomi. Masyarakat memerlukan sosiologi, disiplin-disiplin yang lain tidaklah cukup. Ini bukan berarti bahwa metode studi sosiologis yang aktual akan sangat berbeda dari metode sains yang lain. Menurutnya, kunci setiap sains, baik fisik ataupun sosial adalah pengumpulan bukti, yang diikuti dengan perbandingan, klasifikasi ke dalam kelompok, dan akhirnya menyusun prinsip-prinsip umum, atau kaidah-kaidah yang dalam suatu hal dapat diuji kebenarannya.

Meskipun kita tidak dapat mengikuti keterangan metode sosiologi Durkheim secara detail, namun secara singkat kita dapat mencatat bahwa setidaknya ada beberapa kategori yang dimainkan oleh Durkheim dalam pendekatannya terhadap agama. Di antaranya, Durkheim percaya bahwa terhadap setiap masyarakat, kita dapat menentukan apa yang merupakan perilaku normal dan akibatnya; dan apa juga yang merupakan perilaku abnormal atau patologis. Perilaku normal selalu ditentukan dari dalam suatu kelompok, dan bukan dari luar. Bunuh diri misalnya, merupakan perilaku normal bagi beberapa kelompok masyarakat, seperti Jepang, dibandingkan bagi yang lain. Poligami adalah lebih normal bagi masyarakt primitif dibandingkan dengan masyarakat modern. Jadi, kita harus selalu menilai perilaku normal dari dalam yang sosial.

C. Dimensi Sosial dalam Politik, Pendidikan, dan Moral (Agama)

Durkheim mengakui bahwa perspektif sosiologisnya menawarkan suatu pengertian yang khusus tentang sistem politik, pendidikan, moral dan terutama agama. Untuk bidang yang disebutkan pertama, ia menyoroti tentang sosialisme dan komunisme, yang keduanya merupakan respon terhadap ketidaktenangan kehidupan modern. Ia menentang ide-ide tentang perjuangan kelas dan teori tentang suatu negara yang kuat. Meskipun demikian, ia juga mengakui bahwa negara harus memiliki beberapa kekuasaan yang luas, yang dapat menjadi kebaikan bagi kehidupan individu.

Tugas utama negara adalah mempromosikan nilai-nilai moral, yang juga merupakan alasan mengapa ia juga harus memainkan peran sentral dalam sistem pendidikan masyarakat. Untuk bidang yang kedua ini, ia menulis dua volume sejarah pendidikan di Perancis. Menurutnya, tujuan dari sekolah-sekolah tidaklah hanya untuk memberi latihan teknis dalam keterampilan tertentu, tetapi juga untuk meneruskan nilai-nilai disiplin pribadi dan kemakmuran komunitas dan untuk mempromosikan mereka di atas kepentingan diri sendiri dan individu.

Sedangkan untuk bidang yang disebutkan terakhir, moral, juga menjadi perhatian Durkheim. Menurutnya, persoalan moral tidaklah mungkin dijawab tanpa, di suatu tempat, beralih juga pada persoalan agama. Pemikiran-pemikirannya tentang agama, disamping dituangkan dalam beberapa esei, artikel, dan tinjauannya terhadap karya orang lain, juga telah diabadikan dalam karya monumentalnya, The Elementary Forms of Religious Life (Bentuk-bentuk elementer kehidupan beragama). Buku ini merupakan hasil penelitian dan renungannya selama lebih dari sepuluh tahun lamanya, dan diterbitkan pada tahun 1912.

D. The Elementary Forms of Religious Life: Mengkaji Agama dengan Pendekatan Sosial

      Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa buku ini – secara eksklusif – sebelumnya merupakan hasil penelitian dan renungannya pada masyarakat Australia. Namun demikian, tesa yang dihasilkannya tidak hanya terbatas pada masyarakat Australia, tetapi juga berlaku pada masyarakat lainnya. Dilihat dari judulnya, buku ini berusaha menemukan beberapa elemen-elemen dasar pembentuk semua agama.

Dalam bukunya itu, Durkheim menjelaskan bahwa yang dinamakan agama bukanlah seperti  yang selama ini telah dipahami secara konvensional, yaitu kepercayaan pada makhluk supernatural, seperti Tuhan atau para dewa. Asumsinya lebih diasarkan pada masyarakat primitif, yang secara normal tidak berpikir tentang dua dunia yang berbeda, yaitu yang supernatural dan yang natural. Bagi masyarakat primitif, melihat semua peristiwa, baik yang mukjizat ataupun biasa, pada dasarnya sama saja. Di sisi lain, konsep tentang dewa sendiri adalah sebuah masalah, karena tidak semua orang beragama percaya pada wujud ilahi, meskipun mereka percaya yang supernatural. Dari latar belakang demikian, Durkheim hendak meredefinisi agama yang dapat membersihkan pandangan lama.

 Menurut pengamatannya, yang benar-benar merupakan karakteristik kepercayaan dari ritual agama bukanlah unsur supernatural, tetapi konsep tentang yang sakral (the sacred). Lebih lanjut ia mengatakan bahwa pembagian dunia yang berbeda bukanlah kepada yang supernatural dan yang natural, tetapi kepada wilayah yang sakral dan yang profan. Kategori yang pertama selalu dianggap superior, sangat kuasa, terlarang dari hubungan normal, dan pantas mendapat penghormatan tinggi. Sementara, kategori yang kedua, merupakan kebalikan yang pertama.

Atas dasar inilah, Durkheim maracik definisinya tentang agama sebagai “sebuah sistem terpadu dari kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal-hal yang sakral (sacred things), yakni hal-hal yang terpisah dan terlarang”. Jika ditanyakan, apa tujuan dari hal-hal yang sakral ini, maka jawabannya terletak pada bagian kedua dari definisi tersebut, yaitu praktik-praktik ini menyatu ke dalam suatu komunitas moral yang disebut gereja, semua orang taat pada praktik itu. Kata kuncinya adalah pada ‘komunitas’ dan ‘gereja’. Hal-hal yang sakral selalu melibatkan kepentingan besar: kepentingan dan kesejahteraan seluruh kelompok umat, tidak hanya satu atau beberapa. Sebaliknya, hal-hal yang profan adalah masalah-masalah kecil, yang mencerminkan urusan setiap individu sehari-hari.

Menurut Durkheim bahwa pembagian antara yang sakral dengan yang profan ini bukan pembagian yang bersifat  moral. Artinya, yang sakral itu harus baik dan yang profan mesti jahat, meskipun kecenderungannya lebih bersifat demikian. Menurutnya, garis pemisah itu sebetulnya melintasi pembagian antara yang sakral dengan yang profan. Yang sakral dapat menjadi yang profan; yang profan dapat bersifat baik ataupun jahat, namun yang profan tidak pernah menjadi yang sakral.

Berangkat dari pandangannya bahwa yang sakral sebagai sesuatu yang komunal, Durkheim secara tidak langsung telah membantah para pendahulunya. Menurutnya, bahwa agama bukanlah datang untuk menggantikan magi yang gagal, sebagaimana dipahami oleh Frazer yang mengatakan bahwa bangsa manusia sebelumnya mengikuti kaidah-kaidah magi, dan ketika gagal, ia berpindah ke agama sebagai suatu bentuk pemikiran yang lebih baik. Menurut Durkheim bahwa magi merupakan masalah yang semata-mata pribadi, yang tidak berkaitan dengan yang sakral.

Namun demikian, magi dan agama dapat hidup berdampingan dengan nyaman, yang satu adalah tempat bagi wilayah personal, dan yang lain adalah tempat bagi wilayah sosial. Seorang ahli magi hanya memiliki klien, tetapi bukan jamaat. “Tidak ada gereja magi”.